FAKTAJABAR.CO.ID – Ekonom kawakan Nouriel Roubini yang dijuluki Dr. Doom karena ketepatan prediksi krisis finansial global 2008 kembali melansir ramalan serupa. Kali ini, dia memprediksi krisis finansial dan resesi global akan terjadi pada 2020.
Dalam sebuah kajian yang ditulis bersama Brunello Rosa bertajuk ‘The Makings of a 2020 Recession and Financial Crisis’, Kamis (13/9/2018), Roubini mengingatkan para pemimpin dunia untuk bersiap akan kedatangan badai krisis berikutnya.
Sebelum menjabarkan prediksinya, Roubini menyebut ekonomi dunia akan terlebih dahulu melakukan ekspansi pada 2019, seiring dengan kebijakan Amerika Serikat (AS) untuk menjalankan defisit anggaran secara masif.
Sementara China menerapkan kebijakan fiskal dan kredit longgar dan Eropa yang masih berada dalam tahap pemulihan.
Namun, pada tahun berikutnya, Roubini menjabarkan 10 faktor yang akan memicu resesi dan bahkan krisis ekonomi secara global akan bertemu.
“Pada 2020, kondisi-kondisi itu akan berubah menjadi krisis finansial, yang diikuti dengan resesi global,” tulisnya.
Sebagai gambaran, pada 2005-2006, Roubini yang waktu itu bekerja di IMF telah memperingatkan IMF mengenai potensi gelembung bisnis properti AS yang akan pecah (burst).
Prediksinya menemui kenyataan pada 2008 ketika Lehmann Brothers roboh sebagai permulaan krisis finansial global yang dampaknya masih terasa hingga kini, atau persis satu dekade.
Berikut 10 faktor yang disebut Roubini akan memicu krisis:
Pertama, ia berargumen kebijakan stimulus fiskal yang memotori percepatan pertumbuhan ekonomi AS di atas 2% tidak berkelanjutan. Pada 2020, stimulus akan habis dan pelemahan fiskal akan menyeret pertumbuhan ekonomi AS dari 3% menjadi di bawah 2%.
Kedua, karena stimulus itu tidak tepat waktu, ekonomi AS saat ini mengalami masalah cepat panas (overheating) yang membuat inflasi melampaui prediksi.
Dengan situasi ini, Bank Sentral AS akan menjangkar dengan penaikan suku bunga acuan dari posisi saat ini 2% menjadi setidaknya 3,5% pada 2020.
Hal ini akan mendorong suku bunga jangka pendek dan menengah serta memperkuat dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia.
Di sisi lain, percepatan laju inflasi juga akan dialami oleh negara-negara besar lain, dan kenaikan harga minyak mentah makin memperkuat laju inflasi.
Sebagai konsekuensi, bank sentral negara-negara lain akan mengikuti normalisasi moneter the Fed, yang membuat pengetatan likuiditas global dan makin meningkatkan suku bunga.
Ketiga, sengketa dagang AS di bawah Presiden Donald Trump dengan China, Eropa, Meksiko, Kanada dan negara-negara lain akan makin tereskalasi, yang membuat pertumbuhan dunia melambat dan meningkatkan inflasi.
Keempat, kebijakan-kebijakan AS lainnya, antara lain menghambat rantai pasokan, membatasi imigran yang dibutuhkan untuk menjaga usia produktif dan disinsentif investasi ramah lingkungan.
Semua itu akan menambah beban sehingga mendorong perekonomian Paman Sam menuju situasi stagflasi.
Situasi stagnasi terjadi ketika perekonomian masuk dalam kondisi pelemahan pertumbuhan ekonomi yang diiringi oleh percepatan laju kenaikan harga barang.
Kelima, pertumbuhan ekonomi di luar AS akan melemah, yang disebabkan oleh kebijakan banyak negara yang akan membalas proteksionisme Paman Sam.
China, sebagai contoh, harus memperlemah pertumbuhan untuk mengurangi dampak kelebihan kapasitas produksi dan ekses leverage yang masif, atau bakal memicu hard-landing.
Sementara, negara-negara berkembang yang sudah rentan akan terus merasakan dampak proteksionisme dan pengetatan moneter AS.
Selain itu, kebijakan populis di negara seperti Italia akan menambah utang yang secara perlahan mematikan di Eurozone karena tidak berkelanjutan.
Dalam tulisan yang sama, Roubini melemparkan tesis bahwa ada kemungkinan Italia dan negara-negara lain bakal keluar dari Uni Eropa.
Pemicunya karena permasalahan eksistensial penyebaran risiko moneter yang tidak setara di antara para anggotanya, yang diakibatkan oleh ‘lingkaran setan’ pembengkakan utang pemerintah dan swasta.
Ketujuh, pasar modal AS dan global sudah melaju ke titik tertinggi. Rasio harga terhadap pendapatan perusahaan (PER) di AS telah mencapai level 50% lebih tinggi dari rata-rata sepanjang sejarah.
Kemudian valuasi emiten yang sangat berlebihan dan surat utang negara sudah terlalu mahal, yang berdampak pada yield rendah.
Adapun, koreksi saham, komoditas dan fixed-income akan beranjut ketika awan gelap global mulai nampak. Dan para investor jangka panjang yang mulai mengantisipasi pelemahan global pada 2020 akan membuat pasar terkoreksi pada 2019.
Kedelapan, ketika koreksi tersebut terjadi, risiko likuiditas ketat dan investor mulai ramai melakukan aksi jual murah (fire sales) di pasar modal akan makin parah.
Dengan kasus ini, sektor keuangan, baik di negara maju dan berkembang, yang memiliki liabilitas dolar AS dalam jumlah besar tidak bakal sanggup lagi mengakses the Fed sebagai lender of last resort.
Dengan kenaikan inflasi dan penerapan normalisasi moneter, bank-bank sentral tidak akan lagi memiliki keleluasaan seperti yang terjadi ketika masa pelonggaran moneter pasca-krisis 2008.
Kesembilan, politik domestik AS bisa menjadi pemicu. Saat ini, Presiden Trump secara terang-terangan menyerang the Fed, bahkan ketika laju pertumbuhan ekonomi 4%.
Pada 2020 adalah tahun politik Pilpres AS dan Trump yang kemungkinan maju lagi sebagai calon presiden berpeluang kembali menekan the Fed.
Tidak menutup kemungkinan pula bahwa Trump akan memicu syok geopolitik dan stagnasi global dengan provokasi militer kepada Iran pada 2020 untuk meraup dukungan di dalam negeri. Hal itu, dapat diduga, akan memperparah resesi ekonomi dunia.
Terakhir, ketika badai yang sempurna (perfect storm) itu terjadi, opsi kebijakan yang dimiliki oleh negara-negara di dunia sangat terbatas.
Opsi stimulus fiskal akan terhadang oleh utang pemerintah yang telah sangat besar. Pelonggaran moneter terbatas karena tidak ada ruang untuk memotong suku bunga acuan.
Sementara bailout sektor finansial tidak bakal terjadi, khususnya di negara-negara dengan gerakan populis yang makin berkembang.
Roubini memaparkan, tidak seperti 2008 ketika pemerintah negara-negara di dunia memiliki alat untuk mengantisipasi kejatuhan global, situasi nanti berbeda.
Pada tahun mendatang para pengambil keputusan akan terikat dengan level utang pemerintah yang lebih tinggi ketimbang sebelum krisis 2008.
“Ketika badai itu datang, krisis dan resesi 2020 bakal lebih parah dan berkepanjangan ketimbang krisis finansial 2008.” (*)