FAKTAJABAR.CO.ID – Gelombang tinggi menerjang pantai barat Provinsi Banten pada Sabtu (22/12/2018) pukul 21.27 WIB. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan peristiwa tersebut sebagai tsunami yang tidak dipicu gempa bumi.
“Berdasarkan informasi peristiwa tersebut, BMKG segera melakukan analisis rekaman data sinyal seismik di beberapa sensor seismik terdekat dengan lokasi terjadinya tsunami. Hasilnya tidak didapatkan adanya rekaman gempa bumi pada waktu yang berdekatan dengan waktu terjadinya tsunami di sekitar Banten dan Lampung,” ungkap Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono.
Berdasarkan hasil pengamatan tidegauge (sementara), sambung dia, didapatkan data sebagai berikut:
Tidegauge Serang tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian 0.9m
Tidegauge Banten tercatat pukul 21.33 WIB ketinggian 0.35m
Tidegauge Kota Agung Lampung tercatat pukul 21.35 WIB ketinggian 0.36m
Tidegauge Pelabuhan Panjang tercatat pukul 21.53 WIB ketinggian 0.28m.
Ia menegaskan, tsunami ini tidak disebabkan oleh aktifitas gempa bumi tektonik. “Kepada masyarakat diimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,” imbau Rahmat.
Tsunami di Banten Diduga Akibat Erupsi Krakatau
BMKG menduga terjadi tsunami yang melanda Banten dan Lampung disebabkan adanya erupsi atau longsoran Gunung Anak Krakatau. Terkait hal ini, Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengatakan erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi sejak beberapa bulan lalu.
“Terkait dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau, memang Gunung Anak Krakatau ini sejak 28 Juni 2018 terus sampai sekarang itu memperlihatkan aktivitas yang cukup besar,” kata Kepala Badan Geologi ESDM Rudy Suhendar lewat video conference bersama BMKG, Minggu (23/12/2018).
Dia mengatakan pada hari ini aktivitas Gunung Anak Krakatau memang terpantau di pos pengamatan. Namun, Rudy menegaskan aktivitas Gunung Anak Krakatau ini sudah terjadi hampir setiap hari.
Rudy mengatakan erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi dengan tipe strombolian. Tipe erupsi ini berciri mengeluarkan lontaran disertai pijar ke ketinggian dan juga disertai leleran lava.
“Letusan lontaran material gunung berapi ke atas dengan ketinggian ada yang sampai 1.500 (meter). Tapi yang terakhir itu, jam 19.00 WIB, yang bisa kami pantau ketinggiannya 100-300 meter,” ucapnya.
Rudy mengatakan erupsi sempat terjadi lagi sekitar pukul 21.00 WIB. Namun karena faktor cuaca yang kurang mendukung, tidak terpantau ketinggian lontaran dari Gunung Anak Krakatau.
Rudy juga mengomentari soal kemungkinan terjadinya tsunami yang diakibatkan adanya longsoran material dari Gunung Anak Krakatau. Dia mengatakan belum ada kesimpulan mengenai hal tersebut.
PVMBG akan memastikan kondisi ada-tidaknya longsoran Gunung Anak Krakatau dengan mengecek ke lapangan.
“Ini perlu kita pastikan sampai besok. Kalau secara visual dan morfologi Gunung Anak Krakatau memang ada kemungkinan, tapi kemungkinan sangat kecil bisa merontokkan tubuh dari Gunung Anak Krakatau. Tapi kita akan buktikan sebesar apa, kalau memang betul, itu dugaan bagian dari longsoran Gunung Anak Krakatau,” paparnya.
Rudy menegaskan erupsi yang terjadi di Gunung Anak Krakatau terjadi secara rutin. Rudy mengatakan pihaknya tidak mencatat frekuensi aktivitas Gunung Anak Krakatau yang mencurigakan.
“Karena kejadian letusan yang terjadi di 22 Desember ini sama dengan letusan-letusan yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu lalu, karena tiap hari terjadi letusan terus-menerus. Kemudian, dari catatan seismograf kami, gerakan tremomor sifatnya menurut. Tak ada frekuensi yang tinggi yang mencurigakan,” ucap Rudy.
Sumber: Liputan6.com, Detik.com