Oleh: Wawan Wartawan, Direktur Ruang Politik
RAMAI pemberitaan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) salah satu Tenaga Harian Lepas (THL) di lingkungan Setda Karawang membuka babak baru dalam diskusi seputar tata kelola pegawai non-ASN. Kasus ini bukan hanya masalah personal, tetapi juga refleksi atas kebijakan yang perlu ditinjau ulang secara mendalam.
Sebagai Direktur Ruang Politik, sebuah lembaga kajian yang fokus meneliti isu politik dan pemerintahan, khususnya di Karawang, saya merasa perlu menegaskan pentingnya Pemerintah Kabupaten Karawang untuk menahan diri dan mengambil langkah yang bijak. Hal ini terutama dalam menyikapi status pegawai kategori R3 dan R4, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan MenPAN RB Nomor 347 Tahun 2024.
Pegawai kategori R3 dan R4 memiliki perbedaan mendasar. Kategori R3 merujuk pada pegawai non-ASN yang telah terdata di Kementerian PAN-RB, sementara kategori R4 adalah pegawai non-ASN yang belum terdata. Berdasarkan regulasi yang berlaku, keduanya diberikan hak untuk mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Regulasi ini juga menyebutkan kategori R2—eks THK II yang memiliki kriteria tertentu dan telah terdaftar di database BKN—diberikan prioritas dalam seleksi PPPK. Dengan kerangka hukum ini, pemerintah wajib menata status pegawai non-ASN secara bertahap hingga tenggat akhir pada Desember 2024, sesuai dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2023 Pasal 66.
Namun, persoalannya tidak sekadar memenuhi tenggat waktu. Penataan pegawai non-ASN harus dilakukan dengan pendekatan yang tidak hanya mengacu pada peraturan, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan hukum. Keputusan untuk memutus hubungan kerja dengan tenaga honorer tanpa dasar yang kuat dapat menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Tindakan sepihak tanpa evaluasi menyeluruh mencerminkan kebijakan yang reaktif, bukan proaktif. Dalam konteks ini, saya mendesak Pemkab Karawang untuk mengedepankan pendekatan komprehensif. Proses evaluasi harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk tenaga honorer yang terdampak, guna memastikan keputusan yang diambil mencerminkan prinsip keadilan.
Sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2023, instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN baru setelah UU ini mulai berlaku. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah upaya menyelesaikan penataan pegawai non-ASN yang telah ada harus dilakukan dengan pendekatan manusiawi dan profesional.
Pemutusan hubungan kerja tanpa dasar tertulis yang jelas, apalagi menggantikan pegawai lama dengan tenaga baru, berisiko melanggar aturan. Langkah seperti ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga berpotensi memicu konflik hukum.
Sebagai pemerintah daerah, Pemkab Karawang memegang amanah untuk menjalankan regulasi dengan penuh tanggung jawab. Kebijakan terkait pegawai non-ASN, termasuk kategori R3 dan R4, harus dilandasi oleh semangat reformasi birokrasi yang adil dan transparan.
Keputusan yang terburu-buru tanpa kajian komprehensif hanya akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan. Pemkab Karawang harus menahan diri dan memastikan setiap kebijakan yang diambil berpijak pada regulasi, disertai komunikasi yang baik dengan pegawai terkait.
Hanya dengan kebijakan yang bijak dan berpihak pada kepentingan bersama, pemerintah daerah dapat menyelesaikan persoalan tenaga honorer secara bermartabat, sesuai dengan visi untuk menciptakan pemerintahan yang profesional dan berintegritas.(rls/fj)