Awasi, Atasi, Antisipasi Permasalahan Human Trafficking di Kabupaten Karawang

Ditinjau berdasarkan pemikiran Hubungan Internasional, Oleh: Eric Marthinus Sidebang, S.IP.

Human Trafficking merupakan tindak kejahatan serius dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling keji, sekaligus merupakan perampasan terhadap hak kemerdekaan, kebebasan berfikir dan hak untuk tidak disiksa. Tindak kejahatan human trafficking telah cukup lama menjadi masalah bagi kehidupan masyarakat dalam suatu bangsa dan negara. Negara telah banyak berupaya untuk menangani permasalahan human trafficking menggunakan berbagai instrumen yang dimilikinya. Instrumen kenegaraan bekerjasama pada tataran internasional, regional, nasional, maupun lokal di berbagai daerah untuk melakukan repatriasi, recovery, dan reintegrasi sebagai upaya dalam merespon permasalahan human trafficking yang terus berkembang di Indonesia. Fakta bahwa human trafficking semakin meningkat akhir – akhir ini, baik pada tataran internasional, regional, nasional, maupun lokal. Pada tataran nasional saja, hingga tahun 2017 dan quartal ke-2 2018 tercatat ada sebanyak 8876 korban human trafficking. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pada urutan kedua yang masuk kedalam wilayah tujuan, transit dan negara asal dalam ruang permasalahan human trafficking di dunia. Jadi, Indonesia saat ini tengah berada pada salah satu vicious circle (lingkaran setan) permasalahan human trafficking yang ada di dunia.

Berada pada lingkaran setan dalam permasalahan yang dinilai paling keji di dunia, bukan berarti tidak ada pendekatan yang dapat diterapkan sebagai solusi untuk menguraikan permasalahan human trafficking yang terdapat di negara ini. Dalam upaya menguraikan permasalahan human trafficking diperlukan pendekatan yang tepat agar dapat memformulasikan solusi penanggulangan yang efektif dan efisien terhadap potensial-korban, korban, dan ex-korban. Klasifikasi potensial-korban, korban, dan ex-korban dilakukan agar dalam merumuskan pendekatan tersebut dapat dilakukan secara holistik pada sasaran yang tepat. Tahap pertama yang harus dilakukan dalam menemukan pendekatan yang dimaksud adalah dengan melakukan identifikasi terhadap permasalahan yang sesungguhnya terjadi pada tataran grass roots dalam human trafficking vicious circle. Artinya, identifikasi permasalahan harus dimulai pada tataran lokal atau daerah yang menjadi sasaran human trafficking dari para pelaku. Identifikasi permasalahan setiap daerah belum tentu sama, motif dan modus berbeda yang digunakan oleh pelaku human trafficking menuntut setiap pendekatan harus dirumuskan secara teliti dan hati – hati agar menemukan solusi yang tepat.

Logika sederhana yang dapat diajukan untuk menguji kebenaran argumentasi bahwa perlu dilakukannya identifikasi permasalahan per-daerah untuk menemukan pendekatan yang tepat dalam memformulasikan solusi untuk menguraikan permasalahan human trafficking di setiap daerah yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat komparatif (perbandingan). Komparasi dilakukan guna mengetahui perbedaan penyebab atau permasalahan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah yang lainya. Hal itu sangat berguna untuk menerapkan pendekatan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang terjadi di daerah tersebut. Asumsi dasarnya adalah obat sakit kepala hanya dapat digunakan untuk menyembuhkan sakit kepala saja, tidak dapat menyembuhkan diare ataupun keseleo. Maka, penting dilakukanya perbandingan untuk mengetahui permasalahan atau penyakit apa yang sebenarnya terjadi di daerah yang membuat masyarakat di daerah menjadi sasaran dari para pelaku human trafficking hingga terdapat banyaknya korban human trafficking di daerah itu.

Perbandingan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan jumlah korban human trafficking di daerah. “mengapa jumlah korban human trafficking disetiap daerah berbeda?” untuk mendapatkan jawaban yang holistik, maka pertanyaan tersebut dapat disandingkan dengan pertanyaan lanjutan, “apa yang menyebabkan perbedaan jumlah korban human trafficking di setiap daerah itu?”. Dengan mengajukan dua pertanyaan itu, sehingga dapat memperoleh jawaban mengenai penyebab utama adanya korban human trafficking di daerah tersebut dan bedanya penyebab adanya korban human trafficking dengan daerah lainya. Jadi akan tampak jelas, penyebab utama dari adanya potensial-korban, korban, dan ex-korban dari human trafficking yang kemudian dalam menentukan pendekatan untuk memformulasikan solusi pun akan mudah untuk ditentukan.

Studi kasus untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut dapat dianalisa melalui salah satu provinsi; Jawa Barat yang jumlah korban human trafficking-nya menduduki posisi pertama di Indonesia. Pada tataran daerah, tercatat bahwa Provinsi Jawa Barat menempati posisi pertama dengan jumlah korban mencapai 2.151 orang, disusul oleh Jawa Tengah dan Kalimantan dengan jumlah korban secara berurut yaitu 909 dan 732 orang. Guna mempertajam hasil analisa, maka cakupan wilayah yang diambil adalah Kabupaten yang ada di Jawa Barat. Dari 2.151 korban yang terdapat di Jawa Barat, terdapat lima kabupaten yang secara berturut – turut menempati posisi teratas dalam kasus human trafficking, diantaranya adalah Kabupaten Indramayu dengan jumlah korban sebanyak 142, Cianjur sebanyak 131 korban, disusul oleh Kabupaten Kawarang dengan total korban sebanyak 123, Kabupaten Cirebon sebanyak 106 korban, dan 71 korban berasal dari Kabupaten Sukabumi. Dari lima kabupaten yang menempati posisi teratas dalam permasalahan human trafficking  di Jawa Barat, terdapat satu kabupaten yang tingkat kesejahteraanya tinggi; Kabupaten Karawang yang terdapat pusat industri justru menjadi sasaran human trafficking yang menempati posisi ke-tiga terbesar di Jawa Barat, bahkan pada akhir Juni 2018 terdata di Karawang bertambah hingga 64 korban. Fakta itu membuktikan bahwa ekonomi menjadi motif unik.

Permasalahan human trafficking Karawang menjadi pembahasan yang semakin penting dan menarik bagi pihak – pihak yang hirau terhadap potensial-korban, korban dan ex-korban human trafficking. Pasalnya,Kabupaten Karawang memiliki background yang unik dalam permasalahan human trafficking yang menyebabkan kausalitas motif ekonomi yang seringkali menjadi pusat perhatian banyak analis dalam permasalahan human trafficking berlaku di daerah Karawang yang notabenenya adalah kawasan industri besar. Memang tidak mudah untuk mengatasi permasalahan human trafficking di Karawang. Maka diajukan satu studi permasalahan human trafficking di Karawang yang diuraikan berdasarkan sudut pandang hubungan internasional. Model yang dikembangkan dalam pembahasan ini bukan berdasarkan perspektif bottom-up (perspektif daerah melihat permasalahan internasional) melainkan analisa berdasarkan perspektif top-down (analisa internasional dalam melihat permasalahan human trafficking dari tataran grass roots di daerah).

Permasalahan human trafficking di Karawang,jika ditinjau menurut pemikiran hubungan internasional bukan merupakan permasalahan yang tiba – tiba muncul. Tetapi telah terbentuk melalui tahapan – tahapan yang panjang hingga sampai terbentuknya jaringan terorganisir yang beroperasi hingga ke 12 dari 30 kecamatan di Kabupaten Karawang. Dua belas kecamatan di Karawang per tahun 2017 terdata menjadi kantong pendapatan bagi pelaku human trafficking. Hal itu diakibatkan kompleksitas kejahatan yang sangat terstruktur karena pelaku human trafficking dioperasikan oleh kelompok terorganisir. Modus perdagangan yang semakin canggih, didukung oleh globalisasi dan kemajuan teknologi serta adanya jaringan yang terorganisir menyebabkan kejahatan ini menyebar hingga ke berbagai kecamatan di Kabupaten Karawang. Oleh sebab itu, untuk dapat mengatasi permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang, perlu keterlibatan seluruh elemen masyarakat di lingkungan sosial untuk melakukan tindakan yang dinamai 3A human trafficking. Awasi, Atasi, dan Antisipasi (3A) terhadap human trafficking sangat penting sebagai langkah pre-condition jika sewaktu – waktu para pelaku human trafficking tengah menyasar korban di Kabupaten Karawang. Dengan digalakkanya tindakan 3A human trafficking, maka kuantitas permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang dapat dikurangi.

Awasi, Atasi dan Antisipasi, ketiganya berada dalam satu rangkaian berurutan. Artinya sebagai makhluk sosial yang berada di lingkungan Kabupaten Karawang memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan atau mengawasi lingkungan sekitar. Jika ada kegiatan yang dicurigai sebagai upaya pembujukan untuk menjadi tenaga kerja di luar daerah maupun di luar negeri terutama bagi perempuan dan anak – anak oleh agent atau broker tenaga kerja yang tidak resmi atau disahkan oleh BNP2TKI atau PJTKI, maka awasi pergerakan agent tenaga kerja atau broker tenaga kerja tersebut. Atau, jika ada agent dari BNP2TKI atau PJTKI, tanyakanlah terlebih dahulu skema pemberangkatan yang tertera dalam SOP pemberangkatan TKI ke luar negeri. Jika dianggap ada penyimpangan, lakukanlah tindakan “Atasi” dengan melaporkan kepada pihak berwajib setempat. Lalu antisipasi setiap pergerakan dengan modus baru dalam rekrutmen atau pembujukan untuk menjadi tenaga kerja di luar daerah maupun di luar negeri. Seluruh tindakan itu dapat dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat untuk mengurangi peningkatan human trafficking di Kabupaten Karawang dari tataran lokal atau daerah sebagai penguatan dari tindakan yang dilakukan di lingkungan sosial  berdasarkan perspektif hubungan internasional.

Berdasarkan perspektif hubungan internasional, permasalahan human trafficking ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mengakibatkan adanya peningkatan signifikan pada permasalahan ini, yaitu: ekonomi, lingkungan sosial, minimnya pendidikan, dan kurangnya keamanan serta konstruksi dari lingkungan sosial. Trafficking pada umumnya terjadi pada lingkungan masyarakat yangbila dilihat dari aspek kultur atau nilai, struktur sosial masyarakat dan pola hubungan atau interaksi sosialnya sedang mengalami banyak perubahan sebagaimana di Karawang yang sedang mengalami industrialisasi. Adapun kultur atau nilai yang berkembang pada lingkungan masyarakat tersebut mengalami banyak variasi norma atau nilai yang berorientasi kepada aspek material (polynormatif). Sedangkan pada aspek struktur sosial masyarakat sedang mengalamai dislokasi kelembagaan sosial atau ekonomi akibat pengaruh berkembangnya aspek industri di Kabupaten tersebut dan terjadinya degradasi pada aspek kehidupan pertanian, sehingga berbagai kelembagaan yang ada di masyarakat (di berbagai kecamatan di Karawang) menjadi disfungsional. Kondisi lingkungan masyarakat di Karawang tersebut bila dilihat dari aspek hubungan sosial dan interaksi sosial mulai menurun daya kohesivitasnya, hal ini berkaitan dengan tidak adanya pola-pola pelestarian nilai hubungan sosial yang sifatnyapersonal.

Ekonomi bukan satu – satu nya faktor yang signifikan pada permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang. Justru dari sudut pandang hubungan internasional, faktor keamanan, lingkungan sosial, dan minimnya pendidikan yang menjadi faktor atau komponen utama yang memicu banyaknya permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang. Asumsi itu didasarkan pada definisi human trafficking berdasarkan perspektif hubungan internasional yang menyatakan bahwa perdagangan orang berarti setiap tindakan atau transaksi dimana seseorang ditransfer oleh orang atau pihak atau kelompok apapun kepada pihak lain untuk mendapatkan keuntungan atau karena pertimbangan lain. Artinya meskipun faktor ekonomi pada tataran grass roots menjadi tombak utama untuk membujuk potensial-korban, human trafficking tidak akan terjadi dan mengubah status potensial-korban menjadi korban ataupun ex-korban, jika faktor keamanan, lingkungan sosial dan konstruksi sosial antar satu negara dengan negara lainya telah memiliki sistem yang terintegrasi dalam mengantisipasi permasalahan ini.

Sejatinya, permasalahan human trafficking dapat terjadi ketika ada tiga komponen utama, yaitu broker/agent human trafficking, client (human in trafficking), dan user (pengguna jasa human trafficking) yang saling berkaitan dalam vicious circle human trafficking di dunia. Jika solusi pemberantasan human trafficking selama ini tidak dapat berlaku pada dua komponen vicious circle human trafficking di dunia; broker/agent dan client, maka solusi selanjutnya adalah mengedukasi user, agar tidak menggunakan jasa manusia yang berasal dari kegiatan perdagangan manusia. Dengan begitu, pasar bagi broker/agent pun akan hilang dan tidak ada lagi potensial-korban yang akan menjadi client dari agent human trafficking. Jika setiap analisa menitikberatkan akar permasalahan perdagangan orang adalah transisi ekonomi maupun perekonomian. Maka solusi yang dikeluarkan hanya akan berkutik di titik lingkaran setan human trafficking saja. Apalagi kondisi tersebut diperparah dengan belum terlaksananya implementasi kebijakan nasional penghapusan perdagangan perempuan dan anak dengan baik. Padahal pada tataran internasional, sudah ada berbagai instrumen yang dapat digunakan untuk menanggulangi human trafficking di daerah, seperti The Convention for the Supression of the traffic in persons and of the exploitation of the prostitution of others; The Supplementary Convention for the abolition of slavery , slave trade, and institution and practices similar to slavery; Resolusi Majelis Umum PBB No. 49/166 tahun 1994; Convention on the Rights of the Child; Convenion on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Peran pemerintah karena lemahnya dukungan sumber daya, terjadinya transformasi struktural, tingginya angka kemiskinan, dan belum responsifnya kepemimpinan pemerintah terhadap kasus perdagangan orang. Terlebih kurangnya tingkat keamanan di daerah perbatasan yang memudahkan jaringan kriminal bebas keluar – masuk.

Mengatasi permasalahan perdagangan perempuan dan anak tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam sebuah kemitraan yang diperkuat oleh peraturan pemerintah dalam kemitraanya bersama organisasi internasional. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang signifikan, sistematis, dan strategis terutama untuk pengambil kebijakan maupun segenap komponen bangsa secara komprehensif dan terpadu bersama elemen internasional dalam menyerap setiap konvensi dan peraturan yang telah disepakati pada tataran internasional itu sendiri. Salah satu bentuk konsistensi Indonesia dalam penanggulangan terhadap trafficking adalah Indonesia ikut serta dalam menandatangani dan meratifikasi instrument internasional mengenai trafficking. Pemerintah Indonesia masih menjalin hubungan dengan organisasi – organisasi internasional seperti ILO dan PBB sebagai instrumen yang dapat memberikan efek peringatan, rekomendasi tindakan dan aturan dalam menangani human trafficking.

Human Trafficking merupakan tindak kejahatan serius dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling keji, sekaligus merupakan perampasan terhadap hak kemerdekaan, kebebasan berfikir dan hak untuk tidak disiksa. Tindak kejahatan human trafficking telah cukup lama menjadi masalah bagi kehidupan masyarakat dalam suatu bangsa dan negara. Negara telah banyak berupaya untuk menangani permasalahan human trafficking menggunakan berbagai instrumen yang dimilikinya. Instrumen kenegaraan bekerjasama pada tataran internasional, regional, nasional, maupun lokal di berbagai daerah untuk melakukan repatriasi, recovery, dan reintegrasi sebagai upaya dalam merespon permasalahan human trafficking yang terus berkembang di Indonesia. Fakta bahwa human trafficking semakin meningkat akhir – akhir ini, baik pada tataran internasional, regional, nasional, maupun lokal. Pada tataran nasional saja, hingga tahun 2017 dan quartal ke-2 2018 tercatat ada sebanyak 8876 korban human trafficking. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pada urutan kedua yang masuk kedalam wilayah tujuan, transit dan negara asal dalam ruang permasalahan human trafficking di dunia. Jadi, Indonesia saat ini tengah berada pada salah satu vicious circle (lingkaran setan) permasalahan human trafficking yang ada di dunia.

Berada pada lingkaran setan dalam permasalahan yang dinilai paling keji di dunia, bukan berarti tidak ada pendekatan yang dapat diterapkan sebagai solusi untuk menguraikan permasalahan human trafficking yang terdapat di negara ini. Dalam upaya menguraikan permasalahan human trafficking diperlukan pendekatan yang tepat agar dapat memformulasikan solusi penanggulangan yang efektif dan efisien terhadap potensial-korban, korban, dan ex-korban. Klasifikasi potensial-korban, korban, dan ex-korban dilakukan agar dalam merumuskan pendekatan tersebut dapat dilakukan secara holistik pada sasaran yang tepat. Tahap pertama yang harus dilakukan dalam menemukan pendekatan yang dimaksud adalah dengan melakukan identifikasi terhadap permasalahan yang sesungguhnya terjadi pada tataran grass roots dalam human trafficking vicious circle. Artinya, identifikasi permasalahan harus dimulai pada tataran lokal atau daerah yang menjadi sasaran human trafficking dari para pelaku. Identifikasi permasalahan setiap daerah belum tentu sama, motif dan modus berbeda yang digunakan oleh pelaku human trafficking menuntut setiap pendekatan harus dirumuskan secara teliti dan hati – hati agar menemukan solusi yang tepat.

Logika sederhana yang dapat diajukan untuk menguji kebenaran argumentasi bahwa perlu dilakukannya identifikasi permasalahan per-daerah untuk menemukan pendekatan yang tepat dalam memformulasikan solusi untuk menguraikan permasalahan human trafficking di setiap daerah yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat komparatif (perbandingan). Komparasi dilakukan guna mengetahui perbedaan penyebab atau permasalahan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah yang lainya. Hal itu sangat berguna untuk menerapkan pendekatan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang terjadi di daerah tersebut. Asumsi dasarnya adalah obat sakit kepala hanya dapat digunakan untuk menyembuhkan sakit kepala saja, tidak dapat menyembuhkan diare ataupun keseleo. Maka, penting dilakukanya perbandingan untuk mengetahui permasalahan atau penyakit apa yang sebenarnya terjadi di daerah yang membuat masyarakat di daerah menjadi sasaran dari para pelaku human trafficking hingga terdapat banyaknya korban human trafficking di daerah itu.

Perbandingan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan jumlah korban human trafficking di daerah. “mengapa jumlah korban human trafficking disetiap daerah berbeda?” untuk mendapatkan jawaban yang holistik, maka pertanyaan tersebut dapat disandingkan dengan pertanyaan lanjutan, “apa yang menyebabkan perbedaan jumlah korban human trafficking di setiap daerah itu?”. Dengan mengajukan dua pertanyaan itu, sehingga dapat memperoleh jawaban mengenai penyebab utama adanya korban human trafficking di daerah tersebut dan bedanya penyebab adanya korban human trafficking dengan daerah lainya. Jadi akan tampak jelas, penyebab utama dari adanya potensial-korban, korban, dan ex-korban dari human trafficking yang kemudian dalam menentukan pendekatan untuk memformulasikan solusi pun akan mudah untuk ditentukan.

Studi kasus untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut dapat dianalisa melalui salah satu provinsi; Jawa Barat yang jumlah korban human trafficking-nya menduduki posisi pertama di Indonesia. Pada tataran daerah, tercatat bahwa Provinsi Jawa Barat menempati posisi pertama dengan jumlah korban mencapai 2.151 orang, disusul oleh Jawa Tengah dan Kalimantan dengan jumlah korban secara berurut yaitu 909 dan 732 orang. Guna mempertajam hasil analisa, maka cakupan wilayah yang diambil adalah Kabupaten yang ada di Jawa Barat. Dari 2.151 korban yang terdapat di Jawa Barat, terdapat lima kabupaten yang secara berturut – turut menempati posisi teratas dalam kasus human trafficking, diantaranya adalah Kabupaten Indramayu dengan jumlah korban sebanyak 142, Cianjur sebanyak 131 korban, disusul oleh Kabupaten Kawarang dengan total korban sebanyak 123, Kabupaten Cirebon sebanyak 106 korban, dan 71 korban berasal dari Kabupaten Sukabumi. Dari lima kabupaten yang menempati posisi teratas dalam permasalahan human trafficking  di Jawa Barat, terdapat satu kabupaten yang tingkat kesejahteraanya tinggi; Kabupaten Karawang yang terdapat pusat industri justru menjadi sasaran human trafficking yang menempati posisi ke-tiga terbesar di Jawa Barat, bahkan pada akhir Juni 2018 terdata di Karawang bertambah hingga 64 korban. Fakta itu membuktikan bahwa ekonomi menjadi motif unik.

Permasalahan human trafficking Karawang menjadi pembahasan yang semakin penting dan menarik bagi pihak – pihak yang hirau terhadap potensial-korban, korban dan ex-korban human trafficking. Pasalnya,Kabupaten Karawang memiliki background yang unik dalam permasalahan human trafficking yang menyebabkan kausalitas motif ekonomi yang seringkali menjadi pusat perhatian banyak analis dalam permasalahan human trafficking berlaku di daerah Karawang yang notabenenya adalah kawasan industri besar. Memang tidak mudah untuk mengatasi permasalahan human trafficking di Karawang. Maka diajukan satu studi permasalahan human trafficking di Karawang yang diuraikan berdasarkan sudut pandang hubungan internasional. Model yang dikembangkan dalam pembahasan ini bukan berdasarkan perspektif bottom-up (perspektif daerah melihat permasalahan internasional) melainkan analisa berdasarkan perspektif top-down (analisa internasional dalam melihat permasalahan human trafficking dari tataran grass roots di daerah).

Permasalahan human trafficking di Karawang,jika ditinjau menurut pemikiran hubungan internasional bukan merupakan permasalahan yang tiba – tiba muncul. Tetapi telah terbentuk melalui tahapan – tahapan yang panjang hingga sampai terbentuknya jaringan terorganisir yang beroperasi hingga ke 12 dari 30 kecamatan di Kabupaten Karawang. Dua belas kecamatan di Karawang per tahun 2017 terdata menjadi kantong pendapatan bagi pelaku human trafficking. Hal itu diakibatkan kompleksitas kejahatan yang sangat terstruktur karena pelaku human trafficking dioperasikan oleh kelompok terorganisir. Modus perdagangan yang semakin canggih, didukung oleh globalisasi dan kemajuan teknologi serta adanya jaringan yang terorganisir menyebabkan kejahatan ini menyebar hingga ke berbagai kecamatan di Kabupaten Karawang. Oleh sebab itu, untuk dapat mengatasi permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang, perlu keterlibatan seluruh elemen masyarakat di lingkungan sosial untuk melakukan tindakan yang dinamai 3A human trafficking. Awasi, Atasi, dan Antisipasi (3A) terhadap human trafficking sangat penting sebagai langkah pre-condition jika sewaktu – waktu para pelaku human trafficking tengah menyasar korban di Kabupaten Karawang. Dengan digalakkanya tindakan 3A human trafficking, maka kuantitas permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang dapat dikurangi.

Awasi, Atasi dan Antisipasi, ketiganya berada dalam satu rangkaian berurutan. Artinya sebagai makhluk sosial yang berada di lingkungan Kabupaten Karawang memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan atau mengawasi lingkungan sekitar. Jika ada kegiatan yang dicurigai sebagai upaya pembujukan untuk menjadi tenaga kerja di luar daerah maupun di luar negeri terutama bagi perempuan dan anak – anak oleh agent atau broker tenaga kerja yang tidak resmi atau disahkan oleh BNP2TKI atau PJTKI, maka awasi pergerakan agent tenaga kerja atau broker tenaga kerja tersebut. Atau, jika ada agent dari BNP2TKI atau PJTKI, tanyakanlah terlebih dahulu skema pemberangkatan yang tertera dalam SOP pemberangkatan TKI ke luar negeri. Jika dianggap ada penyimpangan, lakukanlah tindakan “Atasi” dengan melaporkan kepada pihak berwajib setempat. Lalu antisipasi setiap pergerakan dengan modus baru dalam rekrutmen atau pembujukan untuk menjadi tenaga kerja di luar daerah maupun di luar negeri. Seluruh tindakan itu dapat dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat untuk mengurangi peningkatan human trafficking di Kabupaten Karawang dari tataran lokal atau daerah sebagai penguatan dari tindakan yang dilakukan di lingkungan sosial  berdasarkan perspektif hubungan internasional.

Berdasarkan perspektif hubungan internasional, permasalahan human trafficking ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mengakibatkan adanya peningkatan signifikan pada permasalahan ini, yaitu: ekonomi, lingkungan sosial, minimnya pendidikan, dan kurangnya keamanan serta konstruksi dari lingkungan sosial. Trafficking pada umumnya terjadi pada lingkungan masyarakat yangbila dilihat dari aspek kultur atau nilai, struktur sosial masyarakat dan pola hubungan atau interaksi sosialnya sedang mengalami banyak perubahan sebagaimana di Karawang yang sedang mengalami industrialisasi. Adapun kultur atau nilai yang berkembang pada lingkungan masyarakat tersebut mengalami banyak variasi norma atau nilai yang berorientasi kepada aspek material (polynormatif). Sedangkan pada aspek struktur sosial masyarakat sedang mengalamai dislokasi kelembagaan sosial atau ekonomi akibat pengaruh berkembangnya aspek industri di Kabupaten tersebut dan terjadinya degradasi pada aspek kehidupan pertanian, sehingga berbagai kelembagaan yang ada di masyarakat (di berbagai kecamatan di Karawang) menjadi disfungsional. Kondisi lingkungan masyarakat di Karawang tersebut bila dilihat dari aspek hubungan sosial dan interaksi sosial mulai menurun daya kohesivitasnya, hal ini berkaitan dengan tidak adanya pola-pola pelestarian nilai hubungan sosial yang sifatnyapersonal.

Ekonomi bukan satu – satu nya faktor yang signifikan pada permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang. Justru dari sudut pandang hubungan internasional, faktor keamanan, lingkungan sosial, dan minimnya pendidikan yang menjadi faktor atau komponen utama yang memicu banyaknya permasalahan human trafficking di Kabupaten Karawang. Asumsi itu didasarkan pada definisi human trafficking berdasarkan perspektif hubungan internasional yang menyatakan bahwa perdagangan orang berarti setiap tindakan atau transaksi dimana seseorang ditransfer oleh orang atau pihak atau kelompok apapun kepada pihak lain untuk mendapatkan keuntungan atau karena pertimbangan lain. Artinya meskipun faktor ekonomi pada tataran grass roots menjadi tombak utama untuk membujuk potensial-korban, human trafficking tidak akan terjadi dan mengubah status potensial-korban menjadi korban ataupun ex-korban, jika faktor keamanan, lingkungan sosial dan konstruksi sosial antar satu negara dengan negara lainya telah memiliki sistem yang terintegrasi dalam mengantisipasi permasalahan ini.

Sejatinya, permasalahan human trafficking dapat terjadi ketika ada tiga komponen utama, yaitu broker/agent human trafficking, client (human in trafficking), dan user (pengguna jasa human trafficking) yang saling berkaitan dalam vicious circle human trafficking di dunia. Jika solusi pemberantasan human trafficking selama ini tidak dapat berlaku pada dua komponen vicious circle human trafficking di dunia; broker/agent dan client, maka solusi selanjutnya adalah mengedukasi user, agar tidak menggunakan jasa manusia yang berasal dari kegiatan perdagangan manusia. Dengan begitu, pasar bagi broker/agent pun akan hilang dan tidak ada lagi potensial-korban yang akan menjadi client dari agent human trafficking. Jika setiap analisa menitikberatkan akar permasalahan perdagangan orang adalah transisi ekonomi maupun perekonomian. Maka solusi yang dikeluarkan hanya akan berkutik di titik lingkaran setan human trafficking saja. Apalagi kondisi tersebut diperparah dengan belum terlaksananya implementasi kebijakan nasional penghapusan perdagangan perempuan dan anak dengan baik. Padahal pada tataran internasional, sudah ada berbagai instrumen yang dapat digunakan untuk menanggulangi human trafficking di daerah, seperti The Convention for the Supression of the traffic in persons and of the exploitation of the prostitution of others; The Supplementary Convention for the abolition of slavery , slave trade, and institution and practices similar to slavery; Resolusi Majelis Umum PBB No. 49/166 tahun 1994; Convention on the Rights of the Child; Convenion on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Peran pemerintah karena lemahnya dukungan sumber daya, terjadinya transformasi struktural, tingginya angka kemiskinan, dan belum responsifnya kepemimpinan pemerintah terhadap kasus perdagangan orang. Terlebih kurangnya tingkat keamanan di daerah perbatasan yang memudahkan jaringan kriminal bebas keluar – masuk.

Mengatasi permasalahan perdagangan perempuan dan anak tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam sebuah kemitraan yang diperkuat oleh peraturan pemerintah dalam kemitraanya bersama organisasi internasional. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang signifikan, sistematis, dan strategis terutama untuk pengambil kebijakan maupun segenap komponen bangsa secara komprehensif dan terpadu bersama elemen internasional dalam menyerap setiap konvensi dan peraturan yang telah disepakati pada tataran internasional itu sendiri. Salah satu bentuk konsistensi Indonesia dalam penanggulangan terhadap trafficking adalah Indonesia ikut serta dalam menandatangani dan meratifikasi instrument internasional mengenai trafficking. Pemerintah Indonesia masih menjalin hubungan dengan organisasi – organisasi internasional seperti ILO dan PBB sebagai instrumen yang dapat memberikan efek peringatan, rekomendasi tindakan dan aturan dalam menangani human trafficking.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

KPU Pastikan Keamanan TPS  Hingga Proses Distribusi Logistik

Karawang – Pemerintah Daerah Karawang mengadakan Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Pilkada ...