Penulis : Ummu Hauwra | Pegiat Literasi dan Ibu Generasi
SEBUAH Prestasi, namun bukan prestasi dalam hal yang membanggakan. Dalam 4 tahun, Indonesia mendaptkan peringkat keempat berdasarkan data National Center of Missing and Exploited Children (NCMEC) secara Internasional dan peringkat kedua dalam Regional ASEAN dimana dikatakan bahwa sebanyak 5.566.015 konten pornografi di Indonesia yang melibatkan anak – anak (Sindonews.com_18 April 2024).
Kenyataan pahit yang harus kita telan hari ini, anak-anak di Usia 12 – 14 tahun sudah banyak menjadi korban akibat tontonan pornografi.
Bahkan ada juga anak anak disabilitas, anak anak usia PAUD, hingga usia jenjang SMA yang menjadi korban asusila lainya. Tentu saja fakta ini tidak mencerminkan dari keseluruhan kasus yang terjadi dilapangan, lantaran tidak semua anak dapat melaporkan kejadian asusila yang mereka dapatkan karena alasan takut kepada pelaku asusila dan menjadi aib bagi para korban itu sendiri.
Dari fakta ini maka pemerintah mulai merespon. Menteri Koordinator Bidang politik, hukum dan Keamaanan (Menko Polhukam) mengadakan rapat yang melibatkan 11 lembaga pemerintahan untuk membentuk SATGAS ( Satuan Tugas ) khusus untuk menangani Kasus Pornografi ini, diantaranya yang terlibat adalah Kemendikbud, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA),Kemenag, Kemensos, Kemenkominfo, Polri, KPAI, Kemenkumham, Kejaksaan, LPSK dan PPATK (sumber : CNNIndonesia/18 April 2024).
Tentu saja kasus ini menjadi kasus yang butuh perhatian khusus, jika tidak segera ditangani maka akan merusak generasi negara kita kedepanya. Di sistem Demokrasi – Kapitalisme saat ini, orientasi terhadap kemaksiatan menjadi berkembang begitu subur. Banyaknya permintaan dari konten – konten pornografi menjadi kesempatan bagi kapitalisme untuk terus memproduksi konten – konten tersebut yang mana hal ini akan menguntungkan secara materi bagi para pemilik modal, tidak peduli walaupun akan merusak generasi tetap dijalankan bahkan sudah menjadi sesuatu yang legal, bagi Sistem kapitalisme produksi pornografi ini termasuk kedalam shadow economy, sekali lagi yang paling di untungkan dalam kasus ini adalah para pemilik modal.
Kemudian di sistem saat ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi masyarakat dimana kejahatan merajalela termasuk kejahatan seksual tadi. Terlebih jika kita lihat peraturan yang berlaku sekarang sama sekali tidak memberikan sanksi yang menjerakan bagi para pelaku. Solusi yang di tawarkan pun hanya solusi praktis bukan solusi yang hakiki yang dapat memberantas hingga ke akar permasalahanya.
Gagasan pembentukan Tim Satgas bisa saja menjadi sebuah langkah awal untuk mengurangi kejahatan seksual dikalangan masyarakat walaupun responya baru kali ini setelah menelan korban dari ribuan kasus yang terjadi. Artinya jika ingin menyeriusi kasus ini jangan sampai tidak ada hasilnya, mulai dari tahap pencegahan hingga pasca kejadian harus tuntas dan berefek jera bagi para pelaku. Mengingat 11 lembaga besar pemerintahan yang bersatu menjadi satu kesatuan seharusnya bisa di tangani dengan tuntas.
Namun bisa jadi pesimis jika yang digunakan dalam penerapan hukum nya bukanlah dari pemberi Hukum yang Hakiki yaitu Allah SWT. Dalam hal ini Islam sebagai agama yang menjadikan dasar hukumnnya ialah Al – Qur’an memandang kasus kejahatan seperti ini adalah sebuah kemaksiatan dimana kemaksiatan ini harus dihentikan karena akan merusak sebuah generasi tidak hanya keluarga dalam lingkup kecil namun dalam sebuah negara tentunya.
Islam memandang Industri – industri yang memproduksi pornografi ini menjadi industri yang melahirkan kemaksiatan yang mana didalam islam sendiri hukumnya adalah Haram dan jelas terlarang di dalam islam. Islam memiliki solusi untuk memberantas kemaksiatan dan memiliki sistem sanksi yang sangat tegas terhadap para pelaku maksiat, sanksi ini akan sangat menjerakan sehingga mampu mengurangi bahkan menghilangkan kasus kejahatan ini secara tuntas. Wallahualam bissowwab.(***)