Masyarakat Belum Tersentuh

Faktajabar.co.id – Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim melalui Konferensi Para Pihak (COP) ke-15 dengan janji Intended Nasionalis Determined Contribution (NDC) pada 2009 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Untuk mencapai target NDC, maka pemerintah Indonesia memerlukan pendanaan yang sangat besar yang dioperasionalkan dari pusat hingga sub nasional untuk berbagai program dan kegiatannya.

“Program ini dalam operasionalnya membutuhkan pendanaan yang besar, dan itu butuh komitmen semua pihak,” ujar Rahmat Lahangi di Jakarta, 6 Maret 2024.

Data Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menyebutkan bahwa salah satu propinsi yang menjadi pilot project ini adalah Jambi yang menjadi kontributor emisi karbon yang signifikan di Indonesia sampai tahun 2030. Emisi karbon tahunan Jambi di tahun 2005 diperkirakan mencapai 57 MtCo2e¹– setara dengan sekitar 3% dari total emisi Indonesia.

Propinsi Jambi sendiri sudah berkomitmen untuk penanganan perubahan iklim tersebut sejak paska pertemuan COP-15 di Kopenhagen yang mendeklarasikan kebijakan “Kesejahteraan Rendah Karbon”.

Propinsi ini memproyeksikan program penurunan emisi hingga 19 MtCO2 dengan perkiraan kebutuhan dana USD 40,9 juta. Program ini telah memperoleh pendanaan yang terjamin dari BioCF-ISLF Bank Dunia sebesar USD 13,5 juta. Sisa biaya sebesar USD 27,4 juta akan dibiayai dari anggaran pemerintah (ABPN, APBD Provinsi, APBD), perusahaan swasta, mitra pembangunan, dan pendapatan atau insentif dari pembayaran penurunan emisi berbasis hasil.

Jambi sendiri sampai saat ini sudah mengalokasikan anggaran sebesar USD 44,9 juta untuk program pembangunan lima tahun (2022-2025) terkait kegiatan berbasis lahan untuk mendukung implementasi GGP.


Namun Rahmat menegaskan, dalam program pendanaan perubahan iklim ini ada beberapa potensi masalah, yaitu belum adanya lembaga khusus yang menangani pengelolaan dana iklim dan manfaat bagi masyarakat sekitar program.

“Ke depan, keduanya harus menjadi agenda pembahasan semua pihak terkait lembaga yang concern di isu ini,” jelas peneliti Medialink.

Terkait dengan lembaga khusus yang mengelola dana iklim yang dimaksud Rahmat nantinya akan bertugas untuk mengelola pendanaan perubahan iklim di daerah yang meliputi energi, limbah, Industrial Processes And Production Use (IPPU), pertanian dan kehutanan.

Saat ini kelembagaan di daerah yang berjalan hanya dibentuk untuk menangani proyek tertentu di sektor kehutanan. Hal ini menyebabkan minimnya akuntabilitas dan transparansi data pendanaan proyek dan pengukuran capaian indikator kinerja unutk seluruh sektor dalam penanganan penurunan emisi gas rumah kaca di tingkat daerah.

Masalah lainnya, komunitas masyarakat yang seharusnya menjadi salah satu penerima manfaat karena ikut berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan juga masih minim mendapatkan dukungan pendanaan atas hasil kinerjanya dalam penurunan emisi gas rumah kaca.(rls/fj)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Bank bjb Tawarkan Peluang Investasi Melalui Surat Berharga Perpetual dengan Kupon yang Tinggi

JAKARTA – Dalam dunia investasi, terdapat berbagai peluang menarik untuk ...