Dan bahkan ada pihak yang menggugat Dewan Pers agar membatalkan peraturan tentang sertifikasi sekaligus juga verifikasi media karena dianggap melanggar kemerdekaan pers.
Bisa dimaklumi, masih banyak yang belum faham tentang urgensi Sertifikasi Kompetensi Wartawan (SKW) dalam realita media dan kewartawanan saat ini. Peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2010, yang diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers No. 4 tahun 2017 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan menyebut ada enam tujuan SKW.
Pertama, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; Kedua, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan; Ketiga, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi penghasil karya intelektual; Kelima, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan; Keenam, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.
Dari tujuan di atas dapat disimpulkan beberapa hal. Produk jurnalistik adalah karya intelektual, sehingga proses mulai dari menggali informasi sampai menyiarkan dalam bentuk berita harus selalu melalui kerja serius, berdasarkan fakta, dapat dipertanggungjawabkan, sehingga kalaupun ada yang menggugat, penyelesaiannya secara intelektual pula.
UKW, dengan demikian mengukur apakah seseorang yang bekerja sebagai wartawan, dengan beberapa ukuran yang dibuat, sudah pantas disebut sebagai profesional, untuk tingkatan muda, madya, atau utama. Semua wartawan pasti dapat sesuai standar? misalnya.
Wartawan profesional juga diharuskan memiliki perencanaan, apakah dalam meliput suatu acara (untuk kelompok muda), atau membuat liputan investigasi atau indepth (untuk kelompok madya). Ada banyak hal bersifat teknis, yang disebut sebagai pengetahuan atau ketrampilan jurnalistik, yang sangat vital dimiliki wartawan profesional, sebelum dia berhak mendapatkan sertifikat dan kartu kompetens.
Dengan mengikuti uji kompetensi wartawan di level muda, madya, utama, juga sudah memahami pesoalan etik dan hukum terkait pers agar dapat lolos ujian. Mulai dari yang bersifat elementer seperti sikap profesional terhadap narasumber, tidak mengintimidasi, sikap berimbang, konfirmasi, sampai dengan sikap independen dan berpihak pada kepentingan publik di tahapan yang lebih rumit. Bahkan, rambu-rambu tentang tidak menerima suap, tidak menerima imbalan terkait berita, tidak plagiat, langsung dikaitkan dengan pencabutan kartu kompetensi, apabila itu dilakukan mereka yang lulus uji kompetensi.
Hal seperti itu sungguh penting bagi wartawan dari media-media kecil baik di kota maupun di daerah tingkat dua, yang hampir tidak pernah disentuh pelatihan, sebab proses uji kompetensi sekaligus dijadikan juga sebagai proses berbagi pengetahuan dan pengalaman dari pengujinya. Apa yang boleh dan tidak boleh, ditularkan.
Dilihat dari tujuan SKW, wartawan didudukkan dalam posisi strategis dalam industri media, tidak sekadar buruh, pekerja, yang sekadar komponen pelengkap. Dengan demikian pemilik media tidak dapat seenaknya menempatkan orang. Posisi vital newsroom harus diiisi oleh orang yang memiliki kompetensi sesuai tingkatannya. Promosi juga memperhitungkan kompetensi, sehingga manajemen harus menyiapkannya orang itu agar sesuai kemampuan jabatannya, tidak secara sembarang langsung menunjuk. Kedudukan strategis sebaliknya juga membuat manajemen tidak sembarang membuang orang orang yang berkompetensi tinggi, sebab newsroom selalu membutuhkan orang kompeten.
Dalam kaitannya dengan verifikasi media, salah satu tuntutan aturan adalah pemimpin redaksi dan penanggungjawab harus memiliki kompetensi utama, sementara newsroom juga diisi wartawan tidak akan terverfikasi. Alasannya adalah media yang berperan dalam membangun dan membentuk opini publik – bahkan menggunakan frekuensi publik di media penyiaran –harus dikelola orang yang memiliki kompetensi. Artinya orang yang memahami etik dengan segala praktiknya, agar publik mendapat informasi yang sesuai kebutuhannya. Bukan informasi yang telah terpapar kepentingan tertentu.
Sisi lain pentingnya UKW adalah semakin terdegradasinya wartawan di mata orang-orang, katakanlah kepala desa, kepala sekolah, pejabat operasional di tingkat kabupaten/kota. Hampir setiap hari mereka ini didatangi sampai diintimidasi dan diperas oleh orang yang mengaku wartawan, karena mereka membawa kartu pers atau surat penugasan. Mereka itu selalu datang dengan mengatakan untuk konfirmasi kasus penyelewengan, entah dalam tender, rencana pengadaan barang atau pengerjaan proyek. Kalau yang didatangi mau bayar, beritanya tidak jadi. Ada pula yang ingin dibayar dalam bentuk
iklan tembak, pasang tanpa persetujuan.
Satu kabupaten di Sumatra Utara memanfaatkan UKW untuk menyaring wartawan sungguhan yang mencari informasi untuk diberitakan dan wartawan yang hanya bertanyatanya lalu mendapatkan amplop secara rutin. UKW dilakukan secara gratis, dari perkiraan biaya sekitar Rp 1 juta, dengan catatan setelah semua wartawan yang bisa meliput di wilayah itu ikut UKW maka hanya yang lulus dan kompeten yang dilayani Humas. Ternyata hanya 60% yang berani ikut UKW, lainnya takut karena sebenarnya tidak tahu membuat berita dan menjadikan status wartawan untuk cari makan dengan berbagai cara.
Diseminasi informasi Dewan Pers dengan kalangan itu menunjukkan mereka perlu sesuatu untuk
menyaring mana wartawan sungguhan dan mana wartawan gadungan. Kartu kompetensi adalahukuran yang sesuai aturan dan bertujuan ganda karena selain melindungi masyarakat sekaligus menunjukkan jatidiri wartawan sesungguhnya. Masyarakat jadi tahu mana wartawan baik yang bertujuan
memberitakan, sehingga patut diterima dan diberi informasi, dan mana wartawan yang hanya memeras dan mengintimidasi sehingga patut dilaporkan ke polisi. Bagi puluhan ribu kepala desa, kepala sekolah, petugas humas di kabupaten-kota, UKW menjadi hal penting, yang mungkin bagi orang Jakarta, tidak punya arti apa-apa. (***)