Oleh : Elitya Tri Pertama, SST
Statistisi Ahli Pertama BPS Karawang
Rilis berita Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat pada tanggal 1 Oktober menyatakan Indeks Harga Konsumen di Jawa Barat pada September 2021 mengalami deflasi sebesar 0,11 persen. Deflasi tersebut disumbang dari dua kelompok komoditas yaitu makanan, minuman, dan tembakau serta kelompok komoditas komunikasi, informasi dan jasa keuangan. Besaran deflasi komoditas makanan minuman dan tembakau sebesar 0,68 persen, sedangkan sektor komunikasi, informasi, dan jasa keuangan mengalami deflasi sebesar 0,01 persen. Dari sektor makanan, minuman, dan tembakau yang menyimbang deflasi terbesar, diperoleh informasi bahwa sub kelompok makanan mengalami deflasi sebesar 1,05 persen sedangkan sub kelompok minuman dan tembakau justru mengalami inflasi. Komoditas paling utama penyebab deflasi pada sub kelompok makanan adalah telur ayam ras.
Masih ingat di benak kita ketika awal terjadi pandemi covid19 dan seluruh masyarakat khawatir kekurangan bahan pangan jika harus menjalani lockdown, maka mereka berbondong-bondong menyetok persediaan makanan. Pada Maret 2020 inflasi di Jawa Barat 0,31 persen. Dan ternyata berdasarkam rilis data IHK BPS Provinsi Jawa Barat komoditas penyumbang inflasi terbesar pada periode tersebut juga telur ayam ras. Pada saat itu harga telur ayam ras mencapai Rp. 32.000,- per kilogram, sedangkan normalnya berkisar Rp. 23.000,- hingga Rp. 25.000,-.
Namun pada pertengahan September 2021 sejak pemerintah mulai berangsur menurunkan level PPKM harga telur berangsur turun. Hingga akhir september tercatat harga telur ayam ras mencapai Rp. 18.000,- per kilogram di tingkat konsumen.
Siapa tak tau telur ayam ras? Bahan makanan yang dengan nilai kecukupan gizi yang tinggi, harganya tak semahal daging atau ikan, serta mudah dan cepat pengolahannya hingga siap disantap. Telur juga termasuk bahan makanan yang mudah disimpan. Tidak memerlukan lemari pendingin seperti bahan makanan lain agar tetap terjaga kualitasnya dan bertahan beberapa hari.
Saking praktisnya bahan makanan ini terkadang masyarakat menganggap asal sudah punya beras dan telur hati lega, besok pagi bisa sarapan. Hal inilah yang menyebabkan telur menjadi komoditas andalan mencukupi kebutuhan gizi di tengah pandemi.
Beragam spekulasi terungkap penyebab dari anjloknya harga telur pada pertengahan September 2021 antara lain permintaan yang turun dan stok yang berlebih. Tidak adanya hari besar dan musim hajat menjadi salah satu turunnya permintaan.
Produksi yang berlebih akibat peternak menunda melakukan afkir pada ayam dengan usia lebih dari 85 hari akibat harga bibit (DOC/ Day Old Chick/ anak ayam ) yang mahal belum lagi biaya pakan yang semakin tinggi. Jika kondisi ini tetap dipertahankan maka kuantitas semakin berkurang dan kualitasnya pun semakin rendah. Hal ini diprediksi menyebabkan meroketnya harga setelah fase ini.
Pemerintah perlu segera menyelamatkan nasib peternak telur lokal. Strategi utama adalah mengendalikan stok telur yang ada untuk mempertahankan harga di level normal yaitu dengan membeli kelebihan stok dan menjualnya ketika ketersediaan pasar mulai berkurang.
Namun masih menjadi PR besar untuk mempersiapkan gudang dan perlakuan khusus agar telur yang disimpan tetap terjaga kualitasnya. Selain itu perlunya memperbaiki tata kelola peternak telur dengan menetapkan berapa banyak DOC yang boleh dikembangkan untuk suatu periode sehingga tidak lagi terjadi stok telur melimpah. Namun hal ini juga perlu aturan tertentu agar bukan hanya peternak bermodal besar saja yang mendapat kesempatan untuk mendapatkan DOC.
Cara lain adalah dengan menjaga harga unsur penunjang seperti pakan, vaksin, vitamin dan obat-obatan sehingga tidak mempengarui harga jual dari tingkat peternak. Jika tidak dilakukan eksekusi maka ke depan akan terjadi kembali fluktuasi harga karena murni diserahkan pada mekanisme pasar. Saat harga anjlok maka peternak merugi dan ketika harga meroket konsumen akan terkena imbasnya.(*)