Penulis : Ichsan Maulana
Aktivis DPD KNPI Karawang
PERJALANAN panjang bangsa Indonesia dalam menghadapi kolonialisme imperialisme dan tekanan moral telah dilalui dengan berbagai fakta sejarah yang berlumuran darah. Pemikiran visioner para founding fathers bangsa yang diejawantahkan secara radikal melalui gerakan-gerakan revolusioner telah mengubah peradaban tertinggal menjadi kehidupan masyarakat yang berkembang adil dan makmur, tanpa penindasan dan kesewenang-wenangan, tanpa eksploitasi manusia dan sumberdaya alam, tanpa praktek kapitalisme liberal dan imperialisme yang berdampak pada runtuhnya kedaulatan rakyat.
Epistimologi dari perwujudan simbol “merdeka” yang di deklarasikan pada hari Jumat 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB bertepatan dengan bulan Ramadhan di rumah Soekarno Jl. Pegangsaan Timur No. 56 itu sejatinya belum tercapai hingga hari ini.
Benarkah masyarakat yang berkembang adil dan makmur di representasikan dengan pemandangan rakyat yang sakit terbengkalai bahkan mati kelaparan? Benarkah tidak ada penindasan dan kesewenang-wenangan ditandai dengan munculnya aksi-aksi heroik aparat yang berdalih atas dasar ketertiban umum dengan bertindak represif terhadap masyarakat sipil? Benarkah hilangnya eksploitasi manusia dan sumber daya alam dibuktikan dengan hilangnya hak – hak pekerja-pekerja teknik dengan dalih pemerataan sosial serta terkikisnya lahan hijau dengan dalih peningkatan ekonomi melalui industrialisasi? Benarkah bangsa yang tanpa praktek kapitalisme liberal dan imperialisme ditandai dengan sulitnya masyarakat bawah mendapatkan kebutuhan pangan untuk bertahan hidup?
Lalu apakah istilah merdeka sudah secara utuh tersemat pada bangsa ini setelah dengan sadar kita menyaksikan atraksi politik saat sekelompok ologarki begitu mudahnya merampas kedaulatan rakyat?
Demokrasi sosialis religius yang teruang dalam pancasila menjadi ekspektasi the founding fathers setelah terlepas dari penderitaan panjang, nampaknya terpaksa dihentikan oleh kepentingan oligarki yang mempengaruhi orientasi “liar” segelintir penguasa hingga mengubah tatanan negara menjadi neokapitalisme dan liberalisme yang tumbuh secara sistematis berjubah “Neokolonialism”. Hal ini diakui oleh banyak elit politik negeri ini melalui orasi di panggung – panggung yang dibuatnya yang entah ditujukan kepada siapa.
Kekuatan kelompok itu perlahan masuk menggerogoti idealisme melalui kebijakan – kebijakan memaksa yang mendapat banyak kritik analis/akademisi dan para pakar hingga civil society yang tak mampu berbuat apa-apa. Kekuatan intelektual tak lagi sanggup menahan besarnya arus kepentingan, hingga tak sedikit tokoh sosialis maupun agamis yang akhirnya ikut berdansa dengan mereka diatas penderitaan sebagian besar rakyat.
Mimbar – mimbar akademik seolah hanya menjadi dialektika narasi yang tak berarti, usulan – usulan para ahli hingga tokoh ulama dan kiayi hanya menjadi hiasan dalam dinding demokrasi. Sebagian muncul dengan skema revolusi mental, perlawanan massa, dan upaya – upaya radikal namun hanya berakhir di balik jeruji besi tempat tidur tanpa bantal.
Lalu siapa yang merdeka?
Kendati demikian ikhtiar kita tak boleh padam dimakan arang oligarki. Bagaimana penulis berpendapat atas dilematisasi bangsa ini?
Seorang cendekiawan dan politisi Amerika Serikat John Gardner (1933-1922) pernah berkata, “No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization”. Selaras dengan hal itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, mempercayai sesuatu yang memiliki dimensi moral yang menopang peradaban besar.
Setidaknya ada beberapa poin yang ingin penulis sampaikan pada tulisan ini :
- Kemerdekaan yang di cita-citakan para pendiri bangsa secara eksistensi realitas adalah perwujudan kesatuan dan persatuan atas keresahan penderitaan panjang yang dirasakan secara komunal. Sejalan dengan itu, banyak anak bangsa yang sudah memahami dan merasakan dampak neokolonialisme dari berbagai aspek.
- Kolaborasi dan sinergi cerminan dari kesatuan dan persatuan yang diajarkan para pendahulu kita. Tak ada lagi pertempuran saudara kandung, tak ada lagi perkelahian ideologi, tak ada lagi persaingan kotor sesama anak bangsa yang berakhir pada penderitaan satu diantaranya.
- Fakta sejarah menyatakan bahwa keberhasilan gerakan – gerakan revolusioner adaptif yang di prakarsai oleh kekuatan kaum muda senantiasa mampu mendobrak stagnasi sosial. Kekuatan itu sudah semestinya mengalami transformasi yang mampu beradaptasi dengan pergeseran dinamisasi kehidupan secara global.
- Bahwa kekuatan besar neokolonialisme harus di lawan dengan gagasan besar yang tumbuh dari individu – individu kompeten, yang mampu memgembangkan diri sesuai bakat yang diasah maupun kemampuan alamiah disetiap bidangnya.
- Revolusi mental yang dipandang perlu adalah revolusi dalam konteks kepribadian yang anggun bermartabat, menjunjung tinggi nilai – nilai pancasila dan agama sebagai dasar kehidupan yang bermoral.
- Merubah tatanan hidup yang konsumtif menjadi produktif, mampu memanfaatkan segala situasi menjadi peluang untuk dikelola dengan baik. Tanpa ketergantungan kepada sesuatu yang dianggap aman dan nyaman, namun pada akhirnya terperangkap pada paksaan dan kekecewaan.
- Menjadikan kesejahteraan umum, tenggang rasa, gotong royong sebagai kerangka pikir yang utama untuk bertindak dalam kehidupan berbangsa bernegara.
Soekarno pernah berpesan dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1964 yang kemudian dinamai Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP.
“Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation’”
Semoga dengan cepat bangsa kita mendapat kemerdekaan yang seutuhnya. Dirgahayu ke 76 Republik Indonesia.(*)