Akbar: “Makna & Arti Bisa Berubah Ketika Disandang Pada Sembarang Orang”
CIREBON – Pemberian gelar kebangsawanan atau gelar kehormatan bagi seseorang di Cirebon berbeda polanya dengan Kerajaan atau Kesultanan lain yang ada di Nusantara, bahkan di seluruh mancanegara yang dipimpin oleh pemerintahan dengan menganut Sistem Monarki atau Kerajaan.
Seperti diungkapkan Pegiat Budaya di Komunitas Amparanjati Cirebon, Akbarudin Sucipto, S.Sos,i. Bagi Cirebon yang notabene pernah mempunyai history menjadi sebuah Negara, saat ini keberadaan Keraton hanya diperlakukan sebatas Lembaga Adat semata.
“Pemberian gelar kehormatan pun memiliki proses dinamika yang sangat kompleks dan sarat dengan pemaknaan yang dalam, lengkap antara do’a dan harapan bagi siempunya atau penyadang gelar tersebut,” ujar Akbar yang juga Pendiri Gotrasawala Forum sekaligus Ketua Dewan Kesenian Kota Cirebon (DKCIKO), kepada Fakta Jabar, Selasa (1/9).
Akbar menambahkan, seiring dengan dinamika perjalanan sejarah, beberapa gelar di Cirebon mengalami pergeseran arti dan makna, bahkan ada yang mengalami perubahan. Sebut saja gelar Sultan, Raja, Pangeran, Ratu hingga Raden, bisa dicantumkan didepan nama siapa saja tanpa protokol dan koidah pepakem keraton, murni hanya pemberian nama dan do’a orang tua semata.“Padahal, makna dan arti bisa berubah ketika disandang pada sembarang orang,” tandasnya usai berikan pemaparan sebagai berikut:
Gelar Keratuan atau Keraton Cirebon
Kanjeng Syarief Hidayatullah saat dikukuhkan memangku wewengkon Cirebon, penyebutan gelarnya adalah Kanjeng Gusti Sinuhun Sayyidina Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Gelar Sunan atau Susuhunan hanya disandang oleh beliau semata, sesudahnya para anak cucu atau “Putra Wayah” tidak diperbolehkan atau dilarang menggunakan gelar Sunan tersebut.
Tentunya ini mungkin dengan berbagai pertimbangan khusus saat itu. Para putra Sunan Gunung Jati di Cirebon semuanya wafat diusia muda. Sehingga Pemangku sementara di Cirebon pasca Sunan Gunung Jati sumeren dipegang oleh menantunya, yaitu Syarif Maulana Fadhilah Khan alias Fatahillah alias Faletehan alias Wong Agung Paseh. Adapun Putra laki-laki Sunan Gunung Jati yang masih hidup saat itu adalah Pangeran Sebakingkin atau Maulana Hasanudin, yang telah menjadi Sultan di Banten, anak dari pernikahannya dengan Nyi Mas Ratu Kawunganten, putri Adipati Surosowan Banten.
Gelar yang muncul berikutnya setelah Sunan adalah Panembahan. Ini terjadi diera cicit Sunan Gunung Jati. Panggilan Sunan tidak digunakan lagi dan Rajanya disebut Panembahan, seperti Panembahan Ratu Awal, Panembahan Sendang Garuda dan Panembahan Girilaya.
Era Kesultanan
Setelah Panembahan Girilaya wafat, baru Cirebon memasuki era Kesultanan, dimana Rajanya dipanggil dengan sebutan Sultan. Gelar ini pertama kali disematkan oleh Pangeran Raja Muhammad Abdul Fatah atau Sultan Ageng Tirtayasa di Keraton Surosowan Banten, kepada ketiga Keponakannya dari Cirebon.
Diantaranya, Pangeran Martawijaya atau Pangeran Raja Muhammad Syamsuddin sebagai Sultan Sepuh Pertama. Kemudian Pangeran Kertawijaya atau Pangeran Raja Muhammad Badriddin sebagai Sultan Anom Pertama, ada yang menyebut juga Wakil Sultan Sepuh. Lalu Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Kacirebonan Awal. Pada masa-masa inilah atau disekitar tahun 1679-an Cirebon mulai memasuki periode Kesultanan, dimana Rajanya dipanggil dengan sebutan Sultan atau Pegusten.
Siapakah Elang?
Ketika Cirebon akhirnya menjadi Kesultanan, terjadilah pergeseran dan perubahan penyebutan gelar kehormatan bagi para Putra Wayah (Keturunan Sunan Gunung Jati). Secara Struktural,
Sultan (sejak masa kolonial) statusnya adalah Pemimpin kolektif Kelembagaan Adat semata dilingkungannya yang disebut Keraton.
Dalam Pepakem Cirebon, Seorang Sultan haruslah anak dari hasil pernikahan antara Sultan Raja yang sebelumnya bergelar Pangeran Raja dengan Perempuan Bangsawan atau Ratu yang kelak berhak disebut Ratu Raja Permaisuri. Dalam perkembangannya kemudian terjadi perbedaan perlakuan antara Keraton Kesepuhan dan Kanoman, hingga Kacirebonan bahkan Kaprabonan.
Di Keraton yang Sultannya menikah dengan Perempuan Bangsawan, maka penyebutan untuk Sang Istri menggunakan gelar Ratu Raja Permaisuri dan anak laki-lakinya berhak menyandang gelar Elang Raja ketika belum baligh, sesudahnya baru lah dipanggil dengan sebutan Pangeran Raja.
Ketika Sultan menikah dengan perempuan biasa (bukan Bangsawan), maka pemberian gelar pun berbeda pula. Keluarga Keraton akan menyebut Sang Istri Sultan dengan panggilan Raden Ayu atau Den Ayu, adapun anak laki-lakinya berhak menyandang gelar Elang atau Pangeran dan anak perempuannya diperbolehkan menggunakan gelar Ratu atau Raden.
Dalam perspektif lain, terdapat pula penafsiran bahwa penyebutan kata “Elang” juga memiliki makna “Eling”, sehingga dalam sejarahnya para Pangeran Raja dan “Pinangeran” lainnya, ketika masih kanak-kanak hingga remaja harus melewati proses Pendidikan Agama (dahulu Pesantren), Akhlak dan Budi Pekerti, serta pengetahuan Kepinangeranan, termasuk Bab Ngaji Rasa, Ngaji Diri dan Ngaji Badan.
Langkah itu semua merupakan ikhtiar dan do’a sekaligus harapan para Mama (Rama), dan ini berlaku menyeluruh kepada semua para Putra Wayah, agar kelak ketika menjadi pemimpin bisa berlaku adil, tegas, jujur, arif dan bijaksana.
Pangeran dan Raden
Pepakem Cirebon tidak memiliki aturan baku yang membolehkan siapapun untuk disematkan gelar kehormatan kebangsawanan meski bukan trah atau Putra Wayah, kendati ingin diberi gelar. Artinya, gelar kebangsawanan disemua keraton di Cirebon itu murni jalur biologis alias harus melewati protokol pernikahan yang sah menurut Agama dan tercatat oleh Negara.
Dimasa kolonial, polemikpun mulai muncul. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda hanya membolehkan pencantuman gelar Pangeran diberikan kepada anak laki-laki pertama Sultan semata. Adapun anak yang lainnya, termasuk adik, keponakan serta kerabat Sultan sendiri, dilarang mencantumkan gelar Pangeran, Ratu atau Raden didepan nama lengkapnya. Kebijakan ini terjadi pada pasca Sultan Keraton Kanoman ketiga dan memicu pro kontra sesama keluarga keraton.
Pada perkembangan berikutnya hingga era sekarang, Pencantuman gelar Elang atau Pangeran masih digunakan oleh anak yang lahir dari keluarga bangsawan, semisal bapaknya Elang atau Pangeran dan Ibunya Ratu. Sedangkan untuk Elang atau Pangeran yang menikah dengan Perempuan biasa, maka anaknya ada yang mencantumkan gelar Elang atau Pangeran dan ada juga yang Raden.
Sementara, bagi sosok perempuan Ratu yang menikah dengan laki-laki bukan bangsawan, maka anaknya boleh menggunakan gelar Raden, bahkan ada juga pendapat lainnya bahwa gelar Raden tersebut hanya diberikan kepada anak pertama. Wallahu’alam (lil)