KARAWANG – Prihatin, itu kalimat pertama yang diucapkan praktisi hukum flamboyan yang juga pemerhati pendidikan Karawang, Asep Agustian, ketika menanggapi pembelajaran jarak jauh (PJJ)atau pembelajaran melaui daring (online-red), di tengah pandemik COVID-19.
Apalagi PJJ rencananya akan dipermanenkan, memantik kritik pria yang akrab disapa Asep Kuncir (Askun) ini.
Menurut Askun, dengan sistem PJJ, kehilangan akan kehilangan akses sosialnya karena tidak adanya interaksi dengan rekan-rekannya di sekolah.
“Banyak anak merasa terkurung di rumah, kehilangan hak bermain, serta terlalu lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah,” katanya kepada media, Selasa (4/8/2020).
“Jika dibiarkan dalam waktu lama, saya khawatir banyak anak yang frustasi,” timpalnya.
Askun menjelaskan, tak hanya anak yang jadi korban, orang tuanya pun ikut jadi korban. Orang tua ikut tertekan saat mendampingi anaknya dalam PJJ.
“Sebelum berangkat ke kantor, mereka disibukkan dengan dampingi anak PJJ. Waktu mereka akhirnya tersita masuk ke kantor,” ujarnya.
Ia memaparkan, selain dampak psikis imbas PJJ, tak kalah ruwetnya adalah dampak ekonomi karena dalam PJJ mereka harus membeli kuota agar bisa akses materi dalam PJJ. Jika rata-rata setiap anak habiskan Rp10 ribu untuk beli kuota, maka jumlah siswa di Kabupaten Karawang mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi bisa menelan ratusan miliar setiap bulannya.
“Ya rata-ratakan saja, kalau jumlah siswa di Karawang ada 500 ribu dan habiskan Rp10 ribu setiap harinya, maka bisa dihitung Rp10 ribux500 ribux20 hari saja didapat angka Rp100 miliar. Itu angka yang cukup besar,” paparnya.
Askun mempertanyakan kemana uang ratusan miliar itu menguap. Pastinya yang sangat diuntungkan dalam kondisi seperti ini adalah provider kuota. Mereka dapat untung sangat besar, tetapi jangan dilupakan juga provider itu pastinya ada MoU dengan pihak terkait.
“Nah apakah keuntungan provider itu mengalir juga ke Mendikbud, ya tinggal ditelisik saja,” imbuhnya.
Askun juga mempertanyakan bagaimana para guru yang sudah tersertifikasi bisa memenuhi kewajiban tatap mukanya mnimal 24 jam dalam seminggu.
Dalam kondisi seperti ini, Askun menyesalkan sikap diamnya Pemkab Karawang dan DPRD Karawang mencari solusi bagi warganya. Mereka diam tidak mencari terobosan mengurangi dampak psikis dan dampak ekonomi.
“Kemana mereka dalam kondisi seperti ini, katanya mereka orang-orang pintar, tapi kok pada diam saja,” tandasnya.
Askun pun kemudian memberikan solusi polemik PJJ. Di antaranya, kenapa skema masuk kantor yang sehari masuk lalu besoknya tidak masuk diterapkan juga di sekolah. Ia asumsikan jika sekolah miliki 10 rombel dan tiap rombelnya ada 40 siswa, maka bisa direkayasa kelompok A dengan jumlah masing-masing rombel 20 siswa masuk masuk pada hari Senin. Kemudian pada hari Selasa giliran kelompok B masuk dan kelompok A libur masuk sekolah tetapi belajar di rumah.
“Untuk kurangi bergerombol, maka bisa direkayasa lagi, semua kelas dari kelas 1 sampai kelas 3 tidak masuk serentak. Misal kelas 1 masuk jam 07.00 WIB, kelas 2 masuk jam 08.00 WIB dan kelas 3 masuk jam 09.00 WIB. Jika masuknya tidak serentak, maka keluar sekolahnya pun tidak serentak sehingga kurangi anak-anak yang gerombol,” sarannya.
Menurut Askun, dengan adanya waktu anak-anak masuk sekolah itu akan mengurangi dampak psikis mereka karena mereka ada interaksi dengan teman dan guru di sekolah.
“Anggaran beli kuota pun berkurang, sehingga bisa mengurangi beban orang tua siswa,” pungkasnya. (red)