FAKTAJABAR.CO.ID – Perusahaan multifinance atau leasing masih bisa menyita kendaraan yang cicilannya menunggak. Namun, ada persyaratan ketat yang mesti dipatuhi, apa saja?
Kepala Departemen Pengawasan IKNB OJK Bambang W. Budiawan mengatakan para leasing harus menyampaikan tata cara penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan seperti motor atau mobil yang sesuai dengan Undang-undang (UU) Fidusia di depan.
Maksudnya di depan, kata Bambang seluruh leasing untuk mempertegas bunyi perjanjian fidusia di awal sebelum kredit tersebut berjalan. Sehingga para nasabah mengetahui tindakan-tindakan seperti apa yang mencederai janji atau wanprestasi.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia ini sebenarnya memperjelas pasal 15 Undang-undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cidera Janji antara Debitur dan Kreditur.
Dalam putusan tersebut pihak leasing tetap bisa menarik kendaraan motor maupun mobil yang proses kreditnya tidak sesuai dengan perjanjian alias macet. Penarikan pun harus dilandaskan pada perjanjian yang jelas, maksudnya klausul-klausulnya diketahui kedua belah pihak.
“Saya sampaikan ini di depan atau di belakang, kalau kami pahami ini di depan, artinya perusahaan multifianace meperbaiki dari sisi perjanjian pinjamannya, karena namanya perjanjian itu harus diketahui kedua belah pihak jangan sampai tidak transparan dan nasabah juga tidak mau,” kata Bambang di kantor OJK Pusat, Jakarta, Rabu (11/3/2020).
Lanjut Bambang menyebut, pihak leasing juga harus membekali para debt collector-nya berupa sertifikat dan dokumen-dokumen yang membuktikan nasabah melakukan wanprestasi atau cidera janji kredit.
“Sebetulnya putusan MK itu tidak menghapuskan hak eksekusi kreditur terhadap barang-barang fidusia seperti barang bergerak seperti motor dan mobil. Putusan MK ditambahkan fase sukaerela dan dipastikan ada wanprestasi,” ujarnya.
Bambang juga meminta kepada seluruh masyarakat agar membaca lebih detil lagi setiap perjanjian kredit kendaraan bermotor. Tujuannya agar mengetahui risiko jika melakukan wanprestasi ke depannya. Menurut dia masih banyak masyarakat yang kurang memahami isi perjanjian lantaran sudah tergiur dengan kendaraan yang dibelinya.
Oleh karena itu, Bambang mengaku dalam waktu dekat OJK akan menyebarkan surat cinta kepada perusahaan multifinance, isinya berupa imbauan untuk mematuhi POJK Nomor 35 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan.
Dalam Peraturan OJK nomor 35 pasal 65 berbunyi, pegawai dan/atau tenaga alih daya perusahaan pembiayaan yang menangani fungsi penagihan dan eksekusi agunan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK. Sertifikasi profesi bagi debt collector tersebut biasanya dikeluarkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Bambang menegaskan seluruh leasing harus mematuhi POJK Nomor 35 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan. Dalam beleid ini diatur mengenai jelas mengenai tata cara penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan seperti motor atau mobil. Salah satunya adalah mewajibkan debt collector bersertifikat, serta melengkapi debt collector dengan dokumen-dokumen yang menyatakan para nasabah melakukan wanprestrasi atau ciderai janji.
Menurut Bambang, bagi leasing yang masih nekat menggunakan jasa debt collector tanpa sertifikat akan berdampak besar bagi industri multifinance nasional. Sehingga sanksi yang diberikan pun bisa berujung pada pencopotan direksi hingga ditutup perusahaannya.
“SP sudah pasti kalau impact-nya ke industri makin besar kita ukur-ukur lagi. Direksinya fit and Proper. Ada urutannya namanya sanksi ada SP1, SP2, SP3. Terberatnya perusahaannya tutup,” tegasnya.
Sumber: Detik.com