FAKTAJABAR.CO.ID – Badan Nasional dan Penganggulangan Terorisme (BNPT) membuka kemungkinan untuk bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mempekerjakan mantan teroris agar menjauh dari radikalisme.
Diketahui, BNPT bekerjasama dengan Yayasan Pelita Harapan Bangsa (YPHB) untuk membantu mantan teroris di Indonesia. Mereka akan membuat program khusus agar mantan pelaku radikalisme mudah mendapat pekerjaan.
YPHB disebut menggandeng Kingdom Business Community (KBC) yang sedikitnya memiliki 15.000 anggota dari kalangan pengusaha swasta di dalam negeri.
Selain bakal bekerjasama dengan pihak swasta, Kepala BNPT Suhardi Alius menyebut pihaknya tidak menutup pintu untuk menyalurkan para mantan napi terorisme di perusahaan pelat merah.
“Kalau sudah baik kenapa tidak [ke BUMN]? Jadi kami kan yang ikut dampingi mereka,” kata Suhardi, di Jakarta, Minggu (9/2).
Ia menambahkan pengusaha tidak perlu khawatir menerima mantan terpidana teroris sebagai karyawan. Sebab, seleksi buat narapidana bakal sangat ketat.
Menurut Suhardi, syaratnya bukan hanya sudah selesai menjalani hukuman. Ia menyebut mereka harus menjalani seleksi untuk memastikan para eks napi benar-benar sadar dan tidak terpapar paham radikal lagi.
Seleksi ini bakal melibatkan BNPT, Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri, psikolog, Kejaksaan Agung, hingga lembaga pemasyarakatan tempat para napi itu ditahan.
“Jadi ya tidak bisa main-main. Jadi yang disalurkan mereka yang sadar dan benar-benar baik,” ucap Suhardi.
Menurutnya, mantan narapidana terorisme itu terbilang efektif dalam mencegah teror dan radikalisme baru.
“Ini contoh sekarang banyak napi terorisme diundang di dalam dan luar negeri untuk berbicara soal pengalamannya. Mereka itu lebih efektif mengampaikan pesan kepada kelompok yang rentan,” kata Suhardi, yang merupakan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu.
Perwakilan YPHB yang juga koordinator KBC, Julian Foe, mengatakan program ini baru kali ini dibicarakan. Menurut dia memang belum semua anggota setuju, tapi sebagian besar menyambut baik.
“Ya ibaratnya ini (masalah terorisme) juga masalah bersama,” kata dia.
Dari pembicaraan sementara, lanjutnya, ada tiga poin yang ingin ditindaklanjuti. Yakni, lapangan kerja, pembinaan soal berbisnis, dan beasiswa.
Julian mengatakan program ini tidak hanya akan dikhususkan buat mantan terpidana radikalisme. Korban aksi terorisme atau penyintas pun akan diikutsertakan.
“Tapi anggota banyak juga yang mau. Sebetulnya mereka juga sudah biasa, karena kan mereka juga sudah sering nampung mantan narapidana sebagai karyawan mereka,” tuturnya.
Julian menyebut syarat bagi mantan narapidana teroris yang ingin bekerja harus benar-benar ‘bersih’ dari radikalisme dan berniat bekerja serta mendapat rekomendasi dari BNPT.
Sementara, katanya, penyintas tidak memiliki syarat khusus. Bahkan, kata dia, perusahaan swasta akan menyesuaikan pekerjaan dengan korban terorisme itu.
“Karena kalau penyintas itu mereka pasti ada masalah juga pada fisiknya,” ucap Julian.
Butuh Kerja
Korban bom JW Marriot pada 2003, Vivi Normasari, mengakui bahwa banyak pihak yang senasib dengannya yang kesulitan untuk bekerja karena cacat fisik akibat serangan terorisme.
“Allhamdulillah. Jadi ini semacam hadiah, sedikit banyak ini memberi perhatian kepada penyintas,” ucap dia.
Vivi mengaku sempat terauma karena bom membuat tangannya tidak bisa berfungsi seperti semula. Beruntung, ia dapat menemukan pekerjaan yang cocok. Namun, itu tak terjadi pada setiap penyintas.
“Banyak yang putus asa, padahal mereka ingin kerja. Tapi ada kekhawatiran perusahaan mana yang mau menerima mereka,” tandasnya.(*)