Fakta Baru Lesunya Konsumsi dan Daya Beli Masyarakat RI

FAKTAJABAR.CO.ID – Perlambatan ekonomi Indonesia terlihat semakin nyata. Walau risiko resesi masih jauh, tetapi bukan berarti ekonomi Indonesia baik-baik saja.

Kekuatan utama perekonomian Indonesia adalah konsumsi. Pada kuartal III-2019, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,52% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Namun ada hawa penurunan konsumsi, atau minimal perlambatan lah. Ini dikonfirmasi oleh data penjualan otomotif terbaru. Pada Oktober, penjualan mobil turun 9,5% year-on-year (YoY). Sudah empat bulan beruntun penjualan mobil berada di teritori negatif. Dikutip dari cnbcindonesia.

Sementara penjualan sepeda motor turun 2% YoY pada Oktober. Dalam tiga bulan terakhir, penjualan motor terlihat dalam tren menurun.

Data-data di level yang lebih makro juga memberi gambaran serupa. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) memang masih di atas 100, berarti rumah tangga masih optimistis menghadapi perekonomian saat ini dan masa depan.

Namun angka IKK terus menurun dalam lima bulan terakhir. Pada Oktober, IKK mencatatkan angka terendah sejak Februari 2017.

Dilihat lebih dalam lagi, sub-indeks pembelian barang tahan lama (durable goods) terus mengalami penurunan. Porsi pengeluaran untuk konsumsi juga mengarah ke selatan.

Selain itu, penurunan konsumsi juga terlihat dari setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN menggambarkan seberapa besar transaksi di perekonomian. Ketika PPN turun, artinya aktivitas jual-beli lesu.

Pada Januari-Agustus 2019, penerimaan PPN dalam negeri tercatat Rp 167,63 trilun. Turun 6,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Penurunan PPN dalam negeri sejalan dengan IKK dan propensity to consume yang mengalami penurunan,” sebut dokumen APBN Kita edisi September 2019.

Jadi memang harus diakui bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang bermasalah. Kalau konsumsi seret, maka tidak heran pertumbuhan ekonomi tidak bisa dipacu lebih cepat. Mentok di kisaran 5%.

Bagaimana cara menggenjot konsumsi rumah tangga? Di sini peran kebijakan fiskal menjadi sangat vital.

Pertama adalah (kalau mau) memberikan subsidi langsung kepada masyarakat. Seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era pemerintahan sebelumnya.

Dengan program BLT, masyarakat miskin dan hampir miskin langsung mendapat uang tunai yang digunakan untuk konsumsi. Tanpa ba-bi-bu, konsumsi pasti langsung naik.

Namun, BLT tentu tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan. Kalau menggunakan asumsi BLT hanya bisa diterima oleh 40% kelompok masyarakat termiskin, maka jumlahnya hanya 17,5% dari populasi (data BPS September 2018). Tentu sulit diharapkan untuk mendongrak konsumsi secara keseluruhan.

Oleh karena itu, mungkin kebijakan fiskal bisa menempuh cara kedua yaitu menurunkan tarif pajak, utamanya Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. Atau minimal mengubah pengelompokan tarif PPh OP.

Saat ini ada empat golongan tarif PPh OP yaitu:
5% untuk penghasilan hingga Rp 50 juta/tahun.
15% untuk penghasilan Rp 50-250 juta/tahun.
25% untuk penghasilan Rp 250-500 juta/tahun.
30% untuk penghasilan lebih dari Rp 500 juta/tahun.

Jika pengelompokan itu diubah menjadi, misalnya, 5% untuk penghasilan Rp 50-100 juta/tahun maka dalam praktiknya pembayaran PPh akan berkurang. Pendapatan yang bisa dialokasikan untuk konsumsi bisa meningkat, karena yang disisihkan untuk membayar pajak lebih sedikit.

Stimulus tarif PPh terbukti ampuh menggenjot konsumsi masyarakat di Amerika Serikat (AS). Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump mengesahkan tarif baru PPh Orang Pribadi.

Dampaknya sangat signifikan. Pada 2018, konsumsi rumah tangga AS pada 2018 tumbuh 5,1%. Jauh ketimbang pertumbuhan tahun sebelumnya yaitu 4,43%.

Konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,1% adalah kelasnya Indonesia, bukan negara maju seperti AS. Artinya pemotongan tarif PPh sangat manjur untuk mendorong konsumsi, bahkan di negara dengan ekonomi yang sudah mapan seperti AS. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Bank bjb Tawarkan Peluang Investasi Melalui Surat Berharga Perpetual dengan Kupon yang Tinggi

JAKARTA – Dalam dunia investasi, terdapat berbagai peluang menarik untuk ...