FAKTAJABAR.CO.ID – KSPI dan buruh Indonesia menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagaimana tertuang dalam Perpres 75/2019. Khususnya kenaikan iuran klas 3 menjadi Rp 42 ribu. Kenaikan tersebut akan semakin menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Menurut Said Iqbal, pendapatan yang diterima masyarakat di tiap kab/kota berbeda beda (termasuk nilai UMP/UMK berbeda). Hal ini mengakibatkan daya beli terhadap kenaikan iuran tersebut juga berbeda-beda.
“Misal iuran BPJS Kesehatan klas 3 menjadi Rp 42 ribu dikalikan 5 orang anggota keluarga; suami, istri, dan tiga anak. Maka pengeluaran bayar iuran setiap keluarga di seluruh Indonesia adalah sama yaitu Rp 210 ribu,” kata Iqbal.
Tetapi karena pendapatan masyarakat di setiap kab/kota berbeda, bagi masyarakat Jakarta yang berpenghasilan sebesar upah minimum Rp 3,9 juta masih agak berat dan akan menurunkan daya beli. Apalagi kenaikan UMP yang kecil.
Tetapi bagi masyarakat di daerah dengan upah minimum kecil seperti Sragen, Jogja, Boyolali, Halmahera, Pacitan, Banjaenegara, Subang, Papua, Mamuju, dan sebagian besar wilayah Indonesia yang upah minimum dan penghasilan masyarakatnya di bawah Rp 2 Juta, maka bayar iuran BPJS Rp 210 ribu per keluarga tadi akan sangat berat. Bahkan menurunkan daya beli mereka sebesar 30%.
Seharusnya, kata Iqbal, iuran BPJS Kesehatan tidak dinaikkan. Apalagi bagi kaum buruh setiap tahun iuran BPKS Kesehatan nya pasti naik. Karena nilai iuran dihitung dari prosentase upah yang diterima. Faktanya setiap tahun upah buruh naik maka otomatis iuran BPJS juga naik.
Iqbal menegaskan, akan ada gelombang demonstrasi besar dari masyarakat dan buruh untuk menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, khususnya klas 3.
“Solusi defisit dana BPJS Kesehatan seharusnya bukan menaikan iuran, tetapi dengan cara menaikan jumlah peserta pekerja formal. Karena iuran mereka setiap tahun otomatis naik. Saat ini jumlah pekerja formal yang menjadi peserta BPJS Kesehatan hanya 30% dari total pekerja formal,” katanya.
Selain itu, untuk menutup defisit dengan mengambil dari dana cukai rokok yang berjumlah ratusan triliun rupiah. Hal yang lain adalah menaikkan jumlah peserta PBI orang miskin dengan nilai iuran PBI dinaikkan menjadi nilai keekonomian.(cim/rls)