FAKTAJABAR.CO.ID – Syahdan di jaman dahulu kala ada seorang Raja yang memimpin sebuah kerajaan Islam. Kerajaan maupun nama rajanya tidak disebutkan dalam cerita yang diceritakan turun temurun ini. Raja ini memiliki seorang pembantu yang sangat ta’at beribadah. Keikhlasannya bahkan mengungguli semua orang di kerajaan ini. Sekalipun ia mendapatkan musibah, ia justru mengatakan “Al Khair Mukhtarallah” yang artinya “yang terbaik adalah pilihan Allah”. Suatu ketika Raja tersebut sedang makan dengan menggunakan pisau. Mungkin karena kurang hati-hati, pisau tersebut mengenai jari paduka Raja. Jari tersebut terpotong pisau tersebut.
Dengan spontan pembantunya yang ta’at itu berkata, “Al Khair Mukhtarallah”. Mendengar perkataan pembantunya itu, sang Raja merasa tersinggung karena menganggap bahwa pembantunya bergembira terhadap kemalangannya. Ia memerintahkan prajurit istana untuk menjebloskan pembantu Raja tersebut ke dalam penjara. Namun anehnya, ketika akan dimasukkan ke penjara, si pembantu itu berkata lagi “Al Khair Mukhtarallah”. Lantas sang Raja bertambah murka kepadanya. Namun sang Raja masih memiliki hati nurani, tidak asal main pancung. Ia hanya memerintahkan prajurit untuk segera memasukkan pembantu itu ke penjara.
Waktu pun berlalu, hari demi hari, bulan demi bulan, sang pembantu masih berada di dalam penjara istana. Suatu ketika sang Raja pergi berburu bersama pengawal dan anak buahnya. Saking asyiknya berburu, ternyata mereka telah keluar dari wilayah kerajaannya dan memasuki wilayah kerajaan orang yang menyembah api dan dewa-dewa. Orang-orang ini beragama Majusi. Sang Raja dan rombongannya ditangkap karena melanggar masuk wilayah mereka dan akan dijadikan persembahan untuk dewa mereka. Satu demi satu pengawal dan rombongan Raja dibunuh untuk persembahan.
Dan tibalah giliran sang Raja. Saat sang Raja tersebut akan dipenggal, ada seorang kaum Majusi yang mengetahui bahwa ada cacat dalam diri Raja tersebut, yakni jari tangan Raja yang terpotong. Dalam adat mereka, persembahan haruslah sempurna, tidak boleh ada cacat. Maka dari sang Raja akhirnya tidak dibunuh dan ia dibebaskan dalam keadaan hidup. Maka ia pun kembali ke kerajaannya dengan selamat. Raja pun gembira luar biasa. Dalam kegembiraannya ia teringat pembantunya yang dipenjara. Ia segera meminta pengawal untuk membebaskan pembantunya itu dan kemudian bertemu dengannya. Dalam pertemuan itu sang Raja bertanya kepada pembantunya.
“Apa maksudmu ketika dipenjara kamu mengatakan “Al Khair Mukhtarallah”, wahai abdiku?” tanya sang Raja.
“Jika hamba tidak dipenjara, maka sudah pasti hamba akan dibunuh seperti pengawal dan anak buah tuan Raja diluar sana,” jawab sang pembantu.
Semenjak itu sang Raja tidak lagi meremehkan kata-kata sang pembantu dan menyadari bahwa pembantu itu lebih bijak daripada dirinya. (*)