FAKTAJABAR.CO.ID – Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno banyak menebar janji untuk memperbaiki perekonomian Indonesia jika terpilih dalam Pilpres 2019. Pasangan ini bahkan menjanjikan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dua digit atau 10 persen ke atas.
Selain menjanjikan pertumbuhan ekonomi, kedua pasangan ini juga menjanjikan penciptaan lapangan kerja dan penurunan kemiskinan. Mereka juga ingin mendorong kemandirian pangan tanpa impor dan mengurangi peran asing dalam perekonomian. Janji ini tentu syahdu terdengar di antara pada pendukungnya. Namun, bagaimana nasib ekonomi Indonesia jika Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno jika benar-benar terpilih?
Pengaruh terpilihnya pasangan nomor urut 02 pada perekonomian paling awal akan terasa ke pasar modal. Dilansir dari cnnindonesia, Ekonom Anton Gunawan memperkirakan pasar modal Indonesia dapat bergejolak usai Pemilihan Presiden (pilpres) jika pasangan nomor urut 02 terpilih. Apalagi, jika keduanya langsung merealisasikan janji-janjinya.
Ia menggambarkan kondisinya mirip dengan saat Presiden AS Donald Trump menang pada 2016 lalu. Saat itu , Trump langsung mengimplementasikan kebijakan yang ia janjikan saat kampanye. Sontak, pasar saham dan obligasi global saat itu bergejolak. “Jadi makanya antara retorika dan pelaksanaan jadi bagian penting. Kalau benar-benar dijalankan ya investor asing pun ikut mikir untuk investasi di Indonesia,” ungkap Anton, Kamis (11/4).
Pada pekan pertama usai pilpres, menurut dia, pasar kemungkinan besar akan terkoreksi. Investor akan menunggu kebijakan yang bakal dikeluarkan pasangan tersebut. “Intinya kalau kebijakan berubah total itu kena ke pasar, pasar akan lihat kebijakan baru prudent tidak. Jika tidak, optimisme investor untuk investasi yang tadinya tinggi jadi turun,” papar dia.
Sudah rahasia umum, pasar cenderung tak suka dengan perubahan. Dengan demikian, menurut dia, jika pilpres dimenangkan oleh capres petahana Joko Widodo (Jokowi), pasar saham dan obligasi kemungkinan akan bergerak stabil. “Karena kebijakan yang lama akan diteruskan, maka kondisi yang sudah berlangsung saat ini akan berjalan sesuai dengan fundamentalnya,” jelas Anton.
Kesinambungan kebijakan tak hanya menjadi konsentrasi investor pasar modal, tetapi juga para pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyebut sebagian besar anggotanya yang punya skala usaha besar menginginkan Jokowi untuk maju lagi sebagai presiden. Pasalnya, mayoritas pelaku usaha khawatir harus menyesuaikan diri dengan kebijakan baru jika pasangan nomor urut 02 yang terpilih.
Kekhawatiran investor dan pelaku usaha terkait kebijakan yang akan datang dapat menjadi ganjalan bagi investasi untuk tumbuh. Padahal, menurut Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual, investasi menjadi satu-satunya komponen yang harus didorong jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit seperti janji Prabowo.
Menurut David, konsumsi masyarakat, investasi, dan ekspor tak bisa tumbuh signifikan selama pertumbuhan ekonomi global terus menurun. “Untuk jangka pendek sulit dua digit, pertumbuhan ekonomi potensialnya 5,5 persen sampai 6 persen. Kalau mau lebih tinggi lagi dorong investasi,” tutur David.
Faktanya, menurut dia, investasi justru tumbuh melambat dalam empat tahun terakhir. Tahun lalu bahkan pertumbuhannya hanya mencapai 4,1 persen, melambat dibanding tahun lalu 13 persen. “Nah kalau mau menaikkan investasi khususnya dari asing akan membantu pertumbuhan ekonomi, tapi Pak Prabowo saja seolah anti asing jadi mau bagaimana,” tutur David.
Terlepas dari siapa pun yang terpilih, David memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan masih akan bergerak di kisaran 5 persen. Pertumbuhan ekonomi global terutama menjadi ganjalan utama. Anton menilai Prabowo harus kembali memperhitungkan risiko ekonomi ke depan jika ingin merealisasikan janji-janjinya. Menurut dia, program-program yang saat ini dijanjikan capres nomor urut 2 itu dapat memberikan risiko besar ke sektor fiskal, khususnya APBN.
“Terus terang, saya tidak tahu, apakah yang beredar saat ini, segala macam program yang berlawanan dengan Jokowi ini akan dilakukan semua? Kalau dia begitu, sama saja seperti Trump, maka perlu hati-hati,” ungkapnya.
Menurut Anton, stabilitas fiskal merupakan salah satu kunci pertumbuhan ekonomi yang baik. Pasalnya, jika ekonomi dunia sedang penuh ketidakpastian seperti saat ini, maka pertumbuhan ekonomi yang sehat dari dalam negeri sendiri sangat diperlukan.
Senada, Ekonom Faisal Basri menilai beberapa janji Prabowo memiliki risiko terhadap fiskal jika direalisasikan. Salah satunya adalah terkait penurunan tarif listrik dalam 100 hari pertama memimpin. “Cara paling jitu untuk membuat pertumbuhan tinggi memang adalah menurunkan semua, listrik, jalan tol, semen, tarif-tarif lain. Tapi setelah itu, PLN rugi, Garuda Indonesia, Pelni, KAI, itu seperti apa? Itu perlu dipikirkan,” ungkapnya.
Menurut Faisal Prabowo perlu menahan ego dan merasionalkan seluruh program yang dijanjikannya. Oleh karena itu, tak semua janji kampanye bisa sepenuhnya direalisasikan jika capres tersebut terpilih. “Selalu ada penyakit, kalau penantang itu pokoknya (menawarkan program) beda dengan yang ada sekarang ini (dari capres petahana). Ihwal itu realistis atau tidak, yang penting menang dulu. Diskonnya harus lebih banyak,” pungkasnya. (aud/red)