Oleh :
Guntur Widyanto, merupakan seorang Analis Keimigrasian Ahli Pertama pada Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Karawang sebagai Dosen Pengantar Sosiologi Universitas Gunadarma
TERDAPAT dua pernyataan yang menarik perhatian penulis pada saat Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi menyelenggarakan Dengar Pendapat Publik terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 2011 beberapa waktu silam. Salah satunya, berasal dari Direktur Jenderal Imigrasi, Silmy Karim yang menjelaskan bahwa urgensi dilakukannya perubahan terhadap undang-undang keimigrasian yang ada lantaran dinilai sudah tidak lagi mampu mengakomodir kebutuhan publik serta dinamika keimigrasian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas
Muslim Indonesia, Fachri Bachmid juga menyebutkan bahwa setiap regulasi yang dibentuk harus mempunyai daya lenting agar dapat mengakomodasi visi negara, minimal untuk jangka waktu 20 tahun mendatang. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sudah tidak dapat mengantisipasi kompleksitas pelaksanaan tugas serta fungsi imigrasi di masa kini dan mendatang.
Kedua pernyataan di atas nampaknya sejalan dengan konsep “Social
Engineering” ala filsuf hukum bernama Roscoe Pound. Ia berpandangan bahwa hukum tidak boleh terisolasi dari dinamika sosial yang terus berubah. Hukum harus tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang diperlukan.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa kondisi masyarakat dapat berubah secara dinamis dan sangat cepat. Perkembangan teknologi dan informasi berperan besar dalam mewujudkan terjadinya fenomena sosial ini. Dalam perspektif sosiologi, peristiwa ini telah secara paripurna digambarkan oleh Marshall McLuhan melalui konsep “Global Vilage”. Dirinya menyebutkan: “We live in a single constructed space resonance with tribal drums.”
Dalam ilmu sosiologi, terdapat sejumlah teori yang secara detail menjelaskan
mengenai fenomena tersebut, salah satunya yaitu melalui Teori Fungsionalisme Struktural milik Talcott Parsons. Dalam teorinya, Parsons memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terintegrasi secara fungsional ke dalam
suatu bentuk ekuilibrium. Teori ini memandang masyarakat seperti sebuah organisme biologis yang memiliki saling ketergantungan dan keterkaitan antara satu organ tubuh dengan organ tubuh yang lainnya.
Parsons berpendapat bahwa masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem dari
bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Dengan begitu, maka bagian-bagian tersebut saling mempengaruhi serta bersifat timbal balik. Pada tulisan ini, urgensi RUU Keimigrasian akan diulas satu per satu berdasarkan konsep Adaptation, Goal Attachment, Integration, dan Latency (AGIL) pada teori fungsionalisme struktural milik Parsons.
- Adaptation (Adaptasi)
Dalam teori fungsionalisme struktural, Parsons menekankan bahwa setiap sistem sosial harus bisa beradaptasi dengan lingkungan eksternal untuk bisa menjaga eksistensinya. Apabila dikaitkan dengan pernyataan tersebut, maka RUU Keimigrasian dapat dipandang sebagai upaya Pemerintah Republik Indonesia melalui Ditjen Imigrasi untuk beradaptasi dengan fenomena perubahan yang terjadi secara global.
Semakin mudahnya masyarakat untuk melakukan mobilitas atau perpindahan dari satu tempat menuju ke tempat yang lainnya, perubahan kondisi demografi, serta berbagai faktor pertimbangan yang lainnya, menyebabkan pemerintah harus adaptif untuk menyikapi perubahan tersebut. Sehingga, diharapkan dapat menjawab tantangan ekonomi dan sosial di masa kini dan yang akan datang. -
Goal Attaintment (Pencapaian Tujuan)
Parsons menjelaskan bahwa sistem sosial harus menetapkan dan mencapai
tujuan yang telah disepakati secara kolektif, yang dalam hal ini tujuan dimaksud yaitu Visi Indonesia Emas 2045. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah harus mampu menarik minat investor asing masuk ke Indonesia, utamanya dengan
cara memangkas sengkarutnya birokrasi yang ada.
Melalui pelaksanaan RUU Keimigrasian, dapat membuka peluang bagi pemerintah dalam mencapai tujuan nasional. Selain itu, hal ini juga bisa menstimulus laju pertumbuhan ekonomi melalui investor dan tenaga asing terampil yang masuk ke
Indonesia.
- Integration (Integrasi)
Selain adaptasi dan pencapaian tujuan, maka nilai-nilai integrasi juga menjadi halutama yang harus diperhatikan. Dalam teori fungsionalisme struktural, fungsi integrasi ini menjabarkan bahwa sistem sosial harus dapat mempertahankan koherensi dan integrasi antara bagian-bagiannya.
Pendekatan integrasi juga sangat diperlukan untuk membantu Pemerintah Republik Indonesia dalam menjaga kohesi sosial. Dengan begitu, diharapkan adanya penyesuaian terhadap regulasi yang akan dilakukan mampu mengurangi potensi terjadinya konfilik sosial di tengah masyarakat.
- Latency (Latensi)
Tidak hanya mampu beradaptasi dengan hal yang baru, dalam teori fungsionalisme struktural, Parsons juga mendorong adanya upaya sistem sosial untuk mempertahankan serta memperbarui nilai dan norma budaya yang ada. Dalam kaitannya dengan RUU Keimigrasian, hal tersebut dapat mendukung terjadinya penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta memberikan perlindungan bagi kelompok rentan.
Dari keempat poin yang telah dipaparkan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa RUU Keimigrasian dapat dilihat sebagai komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk menjaga fungsi dan keseimbangan sistem sosial. Dengan demikian, maka rencana Pemerintah Republik Indonesia melalui Ditjen Imigrasi untuk merevisi RUU Keimigrasian menjadi suatu keniscayaan.(*)