Editorial Tempo
Publisher Rights demi Jurnalisme Bermutu ; Waktunya Saling Menjaga Kualitas Berita
Aturan publisher rights membawa harapan untuk perbaikan kualitas berita dan bisnis media. Banyak pekerjaan rumah yang tersisa
INDUSTRI media massa di Tanah Air yang tengah megap-megap mendapat sedikit angin segar dengan keluarnya peraturan presiden tentang hak penerbit alias publisher rights. Namun masih banyak pekerjaan rumah sampai peraturan bertajuk “Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas” itu bisa mendatangkan manfaat maksimal.
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada pekan lalu itu mewajibkan perusahaan platform digital—seperti Alphabet (perusahaan induk Google) dan Meta (pemilik Facebook serta Instagram)—turut menjaga ekosistem bisnis pemberitaan yang sehat. Salah satu caranya, platform digital wajib menjalin kerja sama dengan penerbit; bisa dalam bentuk lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data agregat pengguna berita, atau bentuk lain yang disepakati.
Selama ini, relasi perusahaan platform digital dengan penerbit media massa berlangsung timpang. Sejumlah kajian menyebutkan, dalam beberapa tahun terakhir, hampir 70 persen pendapatan iklan—yang selama ini menjadi tumpuan pendapatan perusahaan media—mengalir ke perusahaan platform digital. Perusahaan penerbit hanya menikmati remah-remah kue iklan. Kondisi ini membuat banyak perusahaan media sulit berkembang, bahkan terpaksa gulung tikar.
Dominasi platform digital tak hanya dalam urusan iklan. Dalam beberapa tahun terakhir, platform seperti Google dan Facebook juga menjadi saluran distribusi utama informasi dan produk jurnalistik yang dihasilkan media massa. Penerbit yang mengeluarkan biaya besar untuk menggaji wartawan dan membiayai liputan tak punya pilihan selain menggunakan saluran distribusi yang dikuasai platform digital.
Tak hanya itu, media massa pun mati-matian agar beritanya terjaring mesin pencari milik platform digital yang bekerja berdasarkan algoritma yang rumit. Masalahnya, bagaimana sesungguhnya algoritma bekerja hanya diketahui perusahaan platform. Sembari menebak-nebak cara kerja algortima, demi menuai “klik” sebanyak-banyaknya, tak sedikit media yang menghalalkan segala cara, seperti membuat artikel sensasional tanpa memperhatikan niai beritanya.
Karena itu, sudah tepat peraturan tentang pubisher rights ini meminta platform digital tidak memfasilitasi penyebaran atau melakukan komersialisasi konten berita yang melanggar kode etik jurnalistik. Sudah seharusnya pula platform digital diminta mendesain sistem algoritma yang mendukung perwujudan jurnalisme berkualitas. Itulah bentuk tanggung jawab tanggung jawab platform dalam menjaga kualitas berita.
Semula ada usulan agar platfrom digital menyesuaikan algoritmanya sehingga berita dengan mutu yang buruk dikeluarkan dari mesin pencari. Namun platfrom menolak dengan alasan usulan tersebut seperti meminta mereka melakukan sensor. Komprominya, peraturan presiden hanya meminta platform melakukan upaya terbaik untuk mewujudkan pers berkualitas. Sebuah jalan tengah yang bisa diterima.
Di balik angin segar aturan publisher rights ini, ada juga celah yang perlu diwaspadai. Aturan ini menugaskan Dewan Pers membentuk sebuah komite untuk mengatur serta mengawasi hubungan kerja sama antara perusahaan platform dan penerbit media. Komite tersebut beranggotakan sebelas orang: lima mewakili Dewan Pers, satu mewakili Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta lima dari kalangan “ahli” yang ditentukan oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Memang terlalu dini untuk memprediksi bahwa enam anggota komite yang ditentukan pemerintah tidak independen. Sebaliknya, tidak ada pula jaminan bahwa lima anggota komite dari unsur Dewan Pers akan lebih independen. Tapi, dengan komposisi keanggotaan seperti itu, ketika terjadi sengketa, ada kemungkinan komite hanya membela media yang “bersahabat” dan membiarkan media yang “kritis” terhadap pemerintah perlu diwaspadai.
Sembari menuntut tanggung jawab platform digital, Dewan Pers melalui lima wakilnya di komite kelak perlu lebih aktif merekomendasikan agar berita berkualitas buruk dikeluarkan dari mesin pencari. Pada saat yang sama, penerbit media harus lebih serius memperbaiki kualitas berita dan konten informasi lainnya.
Hanya dengan kerja sama yang kokoh antara platform digital, perusahaan media, Dewan Pers, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya, kita bisa berharap akan masa depan jurnalisme yang berkualitas dan industri media yang sehat. (rls/edutorial tempo)