Oleh Dr. Solehudin, MM
Sejarah pacul atau cangkul membentang jauh ke masa lalu, menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan manusia dalam mengelola tanah dan melakukan kegiatan pertanian. Pada awalnya, pacul mungkin tercipta dari bahan-bahan alam sederhana seperti kayu atau tulang hewan, mencerminkan kebutuhan manusia prasejarah dalam mengolah tanah untuk menciptakan lahan pertanian yang produktif. Seiring dengan kemajuan teknologi dan peradaban, pacul mengalami evolusi desain dan material, termasuk pergeseran signifikan menuju penggunaan logam sebagai bahan utama.
Pentingnya pacul dalam sejarah pertanian tidak hanya terbatas pada fungsinya sebagai alat pengolah tanah, tetapi juga sebagai pendorong revolusi pertanian. Penggunaan pacul membantu mempercepat proses penanaman dan menyumbang pada peningkatan efisiensi dan produktivitas pertanian secara keseluruhan. Alat ini tidak hanya menjadi instrumen praktis tetapi juga simbol kebersamaan manusia dengan tanah, mencerminkan perjuangan keras untuk mengais rezeki dari bumi.
Menariknya, dalam konteks sejarah pacul, surat Walisongo yang ditulis pada zaman Sultan Agung memberikan informasi menarik tentang penemu alat ini. Menurut surat tersebut, Sunan Kalijaga seorang tokoh agama dari sembilan wali yang mengislamkan Jawa, diakui sebagai penemu pacul alias cangkul.
Pencapaian ini menggarisbawahi peran krusial tokoh agama dalam kemajuan teknologi pertanian, menandakan bahwa perkembangan alat pertanian tidak hanya terjadi melalui inovasi materi tetapi juga melalui kolaborasi antara aspek keagamaan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sejarah pacul, dengan demikian, menjadi narasi yang kompleks, mencakup evolusi alat pertanian dan hubungannya dengan perkembangan budaya dan spiritualitas manusia.
Pacul Bukan hanya sekedar alat pertanian, Akan tetapi terdapat filosofi yang luar biasa untuk kita semua. Langkir/Landep. Bagian Cangkul dengan ujung yang tajam digunakan untuk membalik tanah, dan dalam konteks ini, cangkul mengandung simbolisme yang mendalam. Maknanya melibatkan upaya membersihkan hati dan jiwa dari segala hal selain Allah. Selain itu, cangkul juga melambangkan usaha untuk menghilangkan sifat-sifat negatif seperti kebencian, iri, prasangka buruk, dan sifat tidak baik lainnya dari diri kita.
Bawak (Obahing Awak) memiliki arti bahwa seseorang menggerakkan tubuhnya. Dalam konteks ini, “bawak” mengindikasikan langkah pertama setelah kita berhasil menyingkirkan sifat buruk dari diri kita. Langkah berikutnya adalah mengaktifkan tubuh kita untuk beribadah dan bekerja, dengan tujuan mencari keridhoan Allah.
Doran (dedungo marang Pengeran), maksudnya ialah ketika kita sudah menyingkirkan sifat buruk dari diri kita, dan sudah melakukan amal sholih. Kita juga dianjurkan untuk berdoa kepada Allah, karena selain kita dianjurkan untuk berusaha kita juga dianjurkan untuk berdoa kepada allah.(*)