SAKSI sejarah kekejaman tentara penjajah Belanda itu bernama Monumen Perjuangan Rawagede dan Taman Makam Pahlawan (TMP) Sampurna Raga. Keduanya berada di satu lokasi yakni Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, sekitar 7 kilometer utara Kota Karawang.
Setiap akhir pekan dan hari-hari libur nasional, juga hari-hari libur panjang, saksi sejarah itu banyak dikunjungi warga. Terbanyak mereka datang dari Kabupaten Karawang dan dari daerah Jawa Barat lainnya. Banyak di antara pengunjung itu adalah generasi muda terutama para pelajar.
Saat mengunjungi kedua lokasi yang sangat bersejarah itu, Minggu 28 Mei 2023 lalu, penulis sempat berbincang dengan Pak Kamon (67 tahun), tenaga honorer Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang yang tetap setia bekerja sebagai petugas jaga lokasi monumen dan TMP.
“Keluarga saya sendiri ada tiga orang yang menjadi korban pembantaian tentara Belanda dan dimakamkan di sini,” ungkapnya.
“Saya menjadi penjaga di sini sejak tahun 1996 atau sejak monumen ini dibangun. Setiap malam 17 Agustus diadakan upacara peringatan di sini oleh pemerintah kecamatan,” tutur Pak Kamon, ayah tiga anak dan empat cucu yang juga setia mengatur parkir kendaraan para tamu.
Di bagian depan lokasi yang lumayan luas itu berdiri monumen tinggi (dua lantai). Di lantai bawah terdapat diorama yang menggambarkan kekejaman tentara Belanda. Sedangkan taman makam pahlawan berada di bagian belakang. Di antara monumen dan TMP terdapat bangunan beratap sehingga lantainya dapat digunakan untuk beragam aktivitas termasuk upacara peringatan.
Jumlah korban pembantaian
Resmi tertulis pada prasasti TMP Sampurna Raga berbunyi, “Data Korban Peristiwa Tindakan Militer Belanda di Rawagede 9 Desember 1947. Jumlah 483 orang (9 Desember 1949 = 431 orang, 1 Januari-Oktober = 35 orang, 1 Juli-November 17 orang. Yang Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga 181 orang”.
Makam para pahlawan itu diatur sangat rapi dan pada setiap petak makam diberi nama pahlawan bersangkutan. Di lokasi TMP ini ada beberapa pohon tinggi sehingga terasa teduh di siang hari. Di pagar tembok yang tinggi dan panjang di bagian belakang digambarkan kiprah perjuangan para pahlawan. Sedangkan di sekitar monumen dibuat taman sehingga tampak asri dan enak dipandang.
Bulan Desember 1947 menggambarkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 baru berlangsung 2 tahun 4 bulan. Suasana merdeka dari penjajah itu seharusnya sangat menggembirakan rakyat Indonesia. Namun fakta sejarah menunjukkan bahwa penjajah Belanda ingin kembali menguasai Indonesia, dan terjadilah peristiwa kelam yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda (AMB) I.
Penjajah Belanda kembali mengirimkan militernya ke wilayah Republik Indonesia meskipun negara tercinta ini sudah secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya. Perang terpaksa pecah di mana-mana termasuk di daerah Karawang karena rakyat Indonesia tidak mau lagi kembali dijajah oleh Belanda.
Rincian kisah pembantaian
Di Monumen Perjuangan Rawagede itu Yayasan Rawagede membuat tulisan berjudul “Sekilas Peristiwa Tragedi Subuh Berdarah di Rawagede Mengungkap Sisi Pahit Perjuangan Bangsa”. Tulisan yang lumayan panjang itu disusun oleh Sukarman.
Sengaja dikutip di sini inti dari kisah perjuangan yang sangat menyedihkan itu, berawal dari langkah tentara Belanda yang mencari markas para pejuang kemerdekaan di daerah ini.
“Peristiwa tragedi itu masih tergambar jelas di mata Kampung/Desa Rawagede. Sebanyak 431 orang laki-laki berumur 15 tahun tewas akibat kekejaman tentara Belanda yang membabi buta membantai masyarakat/rakyat tak berdosa”.
“Jelasnya Selasa subuh tanggal 9 Desember 1947, penduduk masih tertidur lelap apalagi malam itu Kampung/Desa Rawagede diguyur hujan begitu deras. Tiba-tiba terdengar letusan tembakan senjata memecah kesunyian malam dan membangunan penduduk yang tengah tertidur lelap.”
“Tiba-tiba terdengar letusan beberapa kali hingga penduduk khususnya laki-laki yang dewasa berhamburan keluar rumah. Ada yang lari mencari tempat persembunyian dan ada juga yang tetap tinggal di rumah. Mereka ketakutan setelah mendengar ada serangan Belanda yang dianggap ada pertempuran antara tentara pejuang Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan serdadu Belanda karena Rawagede memang merupakan Markas Pejuang”.
“Penduduk yang panik dan mencari perlindungan akhirnya ada yang lari ke sawah tetapi banyak yang terkena tembakan Belanda. Sebagian besar penduduk hanya punya satu pilihan yakni lari masuk ke Kali atau Sungai Rawagede karena mereka terkepung (leter O) oleh tentara Belanda”.
“Sebagian yang tertangkap oleh Belanda dikumpulkan dan diperiksa. Mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang. Puluhan penduduk yang tertangkap itu tidak mau memberitahukan keberadaan pejuang. Tentara Belanda yang marah akhirnya menyiksa dan menembak rakyat dalam keadaan jongkok. Mereka ditembak dari belakang, satu persatu.”
“Selanjutnya serdadu Belanda menggedor dari pintu ke pintu rumah. Mereka yang tidak mau keluar rumah langsung ditembak. Mereka yang tertangkap langsung dikumpulkan dan disuruh jongkok seperti di tempat lain. Jumlahnya antara 30 sampai 50 orang. Sebelum dibantai mereka ditanyai di mana para pejuang.”
“Menurut para saksi hidup, pembantaian berada di sembilan lokasi. Yang paling banyak di lokasi Sepur yang merupakan Stasiun Kereta Api jurusan Karawang-Rengasdengklok. Setelah sore hari ibu-ibu dan para wanita lainnya baru menemukan mayat-mayat terutama lokasi pembantaian yang dekat rumah mereka.”
“Keesokan harinya, hari Rabu tanggal 10 Desember 1947, ibu-ibu dan sanak keluarga yang tidak mengungsi mencari keluarganya masing-masing. Ternyata yang dicari kebanyakan sudah menjadi mayat. Mereka adalah anak, suami, atau orangtua. Satu keluarga minimal kehilangan satu anggota keluarga, bahkan ada yang sampai empat orang. Mereka sangat repot untuk memakamkannya.”
Sekitar satu minggu para laki-laki yang mengungsi baru pulang kembali ke Rawagede setelah ada informasi bahwa keadaan betul-betul sudah aman. Tetapi di lain pihak mereka merasa kaget karena di pinggir-pinggir sungai masih banyak mayat yang sudah membusuk dan tidak terkuburkan. Mayat yang tidak dikenal akhirnya dimakamkan di tempat ditemukannya dan tidak sedikit yang dihanyutkan di Kali Rawagede.”
“Puisi heroik yang ditulis seniman pejuang, Chairil Anwar berjudul Karawang-Bekasi: Kami Cuma Tulang-Tulang Berserakan benar adanya. Benar menggambarkan kisah tragedi heroik antara Karawang-Bekasi.” (Widodo A, TuguBandung.id/ochim alazis)