Sungguh ironis jika perbaikan jalan di daerah baru mendapatkan perhatian khusus oleh Pemerintah Daerah (Pemda) ketika Presiden Jokowi mengultimatum akan melakukan kunjungan terhadap daerah yang memiliki banyak jalanan rusak. Dengan adanya hal seperti ini, lagi-lagi rakyat dibuat bertanya, sebenarnya Pemda merupakan representasi kekuasaan rakyat atau pemerintah pusat?.
Saat ini Indonesia merupakan negara yang menganut demokrasi sebagai sistem politik, mereka yang duduk menjabat sebagai kepala eksekutif maupun anggota legislatif, mendapatkan kekuasaan melalui Pemilu yang digelar setiap lima tahun sekali. Sayangnya, nilai-nilai demokrasi hanya direduksi ke dalam Pemilu saja, ketika sudah menjabat politisi seakan tenggelam ke dalam elitisme dan feodalisme. Rakyat dipaksa menjadi penonton.
Respon cepat Pemda dalam menindaklanjuti ultimatum Presiden, membuat semuanya menjadi jelas bahwa kekuasaan datangnya dari atas, bukan dari bawah. Relasi antara Pemda dengan Pemerintah Pusat seakan-akan dibawa kembali ke era kerajaan, di mana Pemda masih memandang dirinya sebagai Kadipaten yang tunduk oleh Kuasa Kerajaan secara mutlak. Jabatan Bupati dan Walikota masih dipandang sebagai mandat dari Raja, sehingga ada rasa ketakutan jika tidak segera menjalankan perintah.
Padahal, daripada ketar-ketir menjalankan tugas negara ketika Presiden sudah bersuara, bukankah lebih baik jika Pemda lebih dulu merespon keinginan rakyatnya, misal, soal memenuhi keinginan rakyat untuk merasakan jalan yang teraspal secara baik. Seorang Kepala Daerah harus lebih sadar, bahwa dirinya terpilih oleh rakyat di daerahnya, bukan atas belas kasih Presiden. Lagipula, kalau apa-apa harus menunggu suara dari Presiden, yang bakalan menerima pujian positif dari rakyat itu ya Presiden, bukan kalian. Buat apa kalian bekerja secara serius untuk citra orang lain?
Sebagai politisi seharusnya kalian memahami, bahwa karir politik seorang politisi eksekutif dapat cemerlang ketika ia mampu merespon kebutuhan rakyat dan menghadirkan perubahan yang bisa dirasakan oleh rakyat secara langsung. Tentu saja keinginan rakyat juga tidak muluk-muluk, untuk tingkat daerah khususnya, apalagi kalau bukan jalanan yang mulus?.
Ketika seorang politisi menjadi petahana, sebenarnya ia bisa menghemat ongkos politik untuk mencitrakan dirinya selama beberapa tahun ke depan. Daripada baru sibuk ketika sudah memasuki tahun Pemilu, seorang petahana bisa mengkampanyekan dirinya dengan menghadirkan program kerja yang baik selama lima tahun menjabat.(aip)