Ketua Pembina Yayasan Buana Pangkal Perjuangan Memberikan Pesan dalam Kongres Kebangsaan

Ketua Pembina Yayasan Buana Pangkal Perjuangan (YBPP) Karawang, Universitas Buana Perjuangan Karawang Letjen TNI (Purn) H. Kiki Syahnakri

Karawang – Ketua Pembina Yayasan Buana Pangkal Perjuangan (YBPP) Karawang, Universitas Buana Perjuangan Karawang Letjen TNI (Purn) H. Kiki Syahnakri memberikan Pesan Kebangsaan dalam Kongres Kebangsaan di Gedung Nusantara IV MPR/DPR/DPD RI Jakarta, 28 Oktober 2021

“Ditinjau dari aspek geografis, tanah air kita memiliki tiga ciri utama yaitu. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terletak pada posisi silang yang amat strategis dan kaya akan sumber daya alam,” ujar Ketua Pembina Yayasan Buana Pangkal Perjuangan (YBPP) Karawang, Universitas Buana Perjuangan Karawang Letjen TNI (Purn) H. Kiki Syahnakri, kepada Fakata Jabar.

Menurutnya, mengelola negara kepulauan tentu lebih sulit dari pada mengelola negara kontinental, terutama dalam hal menyatukan dan memakmurkan bangsa. “Konsekuensi dari ciri letak strategis dan kaya SDA adalah beredarnya berbagai kepentingan asing yang dapat melahirkan konflik serta ancaman,” ungkapnya.

Ia menambahkan, secara demografis, bangsa ini selain jumlah penduduknya besar nomor empat terbesar di dunia, juga memiliki kebhinnekaan luas-multidimensi. “Ras/etnik, agama, bahasa, adat-istiadat, sosial, ekonomi, juga dalam hal ideologi dan politik,” tuturnya

Ia menerangkan, dalam ciri demografis ini, tersimpan aneka kekayaan budaya bangsa, sekaligus terkandung berbagai potensi konflik. Keliru mengelola kebhinnekaan, niscaya akan muncul konflik nyata.

“Sejarah kebangsaan kita sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan, kental diwarnai dengan persaingan bahkan pertarungan ideologi antara kelompok: nasionalis, Islam, liberalis dan komunis,” terangnya.

Melihat karakteristik Keindonesiaan dan sejarah kebangsaan tersebut, maka dalam mengisi kemerdekaan terdapat dua. Pekerjaan rumah akbar sekaligus mutlak, bagi bangsa Indonesia yaitu upaya integrasi internal untuk mewujudkan Persatuan Indonesia dan upaya adaptasi eksternal untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Untuk itulah para founding fathers telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup sekaligus perekat bangsa, serta merancang UUD 1945 sebagai UUD yang dijiwai Pancasila,”ujarnya.

Sayangnya, dalam reformasi 1998 yang diikuti dengan amandemen UUD, telah terjadi penggantian UUD 1945 menjadi UUD 2002, yang secara fundamental telah mengubah roh persatuan, kebersamaan, kekeluargaan sesuai dengan hakekat Pancasila, menjadi “kebebasan” sesuai dengan hakekat liberalisme-individualisme.

“Dihadapkan pada kebhinnekaan masyarakat kita yang luas-multidimensi dan tingkat kedewasaan berdemokrasi yang belum baik, kebebasan tadi telah menjelma menjadi kebebasan luas nyaris tanpa batas,”harapnya.

Kebebasan luas yang berkembang mendadak dalam masyarakat ini secara derivatif telah melahirkan libido kekuasaan tinggi yang diikuti dengan merebaknya machiavellisme, politik uang, korupsi, politik dinasti, politik korporasi dan oligarki.

“Itu semua merupakan kanker ganas dalam demokrasi,” ujarnya.

Disadari atau tidak, kebebasan nyaris tanpa batas tadi justru telah menjauhkan bangsa Indonesia dari upaya akbar mewujudkan integrasi internal dan adaptasi eksternal. Sebaliknya telah memunculkan berbagai macam konflik: ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berpotensi membawa bangsa Indonesia terjebak dalam perpecahan.


Sebelum itu terjadi, saya mendesak para elit politik untuk melakukan “Kaji Ulang UUD hasil amandemen atau UUD 2002,” pungkasnya.(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Bank bjb Tawarkan Peluang Investasi Melalui Surat Berharga Perpetual dengan Kupon yang Tinggi

JAKARTA – Dalam dunia investasi, terdapat berbagai peluang menarik untuk ...