KARAWANG – Meski sudah mendapat jawaban dari Pemerintah Pusat melalui surat Sekretaris Negara RI kepada Menteri Keuangan terkait pelepasan asset Negara kepada para petani plasma TIR (Tambak Inti Rakyat) Cilebar, namun sampai saat ini belum ada realisasinya.
Karenanya para petani plasma TIR Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar Kabupaten Karawang ini mengirim surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Isinya minta segera dibukakan rekening Kas Umum Negara (KUN) untuk pelepasan asset negara.
Dalam surat itu para petani plasma TIR Cilebar meminta Pemerintah Pusat segera melakukan konversi lahan tambak dan Perumahan di Desa Pusakajaya Utara Kecamatan Cilebar, Kabupaten Karawang.
Dituliskan dalam surat itu, akibat dari belum dilepaskannya asset Negara tersebut, para petani plasma menilai sangat berdampak buruk pada proses pengelolaan dan proses budi daya ikan dan udang. Serta lahan milik Negara di wilayah tersebut menjadi tidak produktif. Hal ini sangat berpengaruh negatif terhadap IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di lingkungan setempat.
“Mohon kiranya Ibu Menteri Keuangan segera membuka Kas Umum Negara terkait cicilan pembayaran kredit berupa lahan tambak seluas 1 hektare, rumah tipe 36 dan pekarangan 200 m2 seharga Rp 25.688.600 untuk masing-masing petani plasma,” kata para petani dalam surat itu.
Harga itu muncul sesuai dengan perhitungan Setneg, Direktorat Kekayaan Negara, Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, Dirjen Anggaran, Pemkab Karawang, BPN dan Dinas PUPR Karawang.
Sementara itu, Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Gerindra Ihsanudin dalam resesnya di Desa Pusakajaya Utara Kecamatan Cilebar baru-baru ini menyatakan sangat mendukung upaya para petani plasma TIR untuk mendesak Pemerintah Pusat merealisasikan konversi lahan bekas proyek TIR.
“Sejak proyek dibangun 1984 hingga sekarang petani plasma belum mendapatkan haknya dari pemerintah berupa konversi lahan tambah dan perumahan petani. Meski sudah ada surat dari Sekretariat Negara pada 15 September tahun 2000,” ujar Ihsanudin.
Dijelaskan Ihsanudin, sudah sejak lama para petani dijanjikan mendapat hak konversi lahan dengan cara kredit. Kenyataannya petani plasma belum mendapatkan hak konversi lahan.
“Sejak TIR operasional tahun 1986, pola TIR tidak dijalankan secara proporsional dan tertib aturan. Kehidupan petani plasma semakin terpuruk dengan dilanggarnya berbagai aturan diantaranya, mengenai bonus produksi, tingkat penghasilan yang rendah serta hak konversi lahan yang tidak jelas, sehingga tekanan kebutuhan hidup semakin berat dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok,” jelasnya.
Anggota DPRD dari Fraksi Gerindra ini menambahkan, berbagai usaha telah dilakukan, namun bukan kepastian yang petani plasma dapatkan, malah berbagai tekanan dan intimidasi tanpa ada kepastian kapan konversi bisa dilakukan, bahkan sampai ada warga yang dipenjara karena dianggap merusak aset negara.
“Proyek TIR dibangun di atas lahan seluas 350 Ha. Di atasnya dibangun tambak plasma seluas 200 Ha dan tambak inti seluas 50 Ha. Proyek TIR juga dilengkapi dengan sarana perumahan, kantor, pabrik dan sarana lain seluas 100 Ha, termasuk 200 unit rumah plasma dan 50 unit rumah inti,” jelasnya.
Saat reses, tambah Ihsanudin, banyak masyarakat yang menyampaikan aspirasi mengenai persoalan proyek TIR ini termasuk mengirim surat kepada Menteri Keuangan.
Ia mendorong, agar pemerintah segera merealisasikan hak petani plasma. Dokumen-dokumen pembangunan proyek TIR waktu pertama kali dibangun disiapkan sebagai bahan pengajuan konversi lahan untuk petani plasma kepada pemerintah.
“Jangan kebiri petani plasma Karawang. Kami meminta kepada pemerintah untuk merealisasikan hak-hak mereka yang telah dijanjikan,” pungkasnya.(red)