KARAWANG – Rukun Nelayan Desa Pusakajaya Utara meminta keadilan pihak desa sebagai kordinator dalam hal pembagian upah pembersihan tumpahan minyak yang diberikan pihak PT. Pertamina Hulu Energi (PHE) kepada para nelayan yang dipekerjakan. Pasalnya, jumlah nominal upah yang diterima pihak nelayan dari kordinator pembersihan limbah minyak tersebut tidak sesuai dengan yang diberikan oleh pihak PHE.
Pertamina sendiri memberikan upah sebesar Rp.1.750.000/perahu. Sedangkan pihak nelayan mengaku hanya menerima sebesar Rp.1.450.000 per-perahunya. Sebelumnya, upah yang diberikan pihak PHE dipegang dan dikelola oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang bertugas mengawasi kondisi laut di Pesisir Pantai Karawang. Kemudian, terbentuklah pengurus pembersihan limbah minyak yang diinisiasi dari pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Ketua Rukun Nelayan Desa Pusakajaya Utara, Wartono mengatakan, pihaknya mendapat informasi dari pengurus pembersihan limbah minyak bahwa besaran upah yang diberikan adalah Rp.1.700.000 dengan potongan sebesar Rp.200.000 untuk diberikan kebeberapa lembaga di desa tersebut, sedangkan Rp.50.000 sebagai upah pengurus. Namun, setelah ditanyakan kepada lembaga-lembaga tersebut perihal potongan uang kompensasi, salah satunya Kepala Desa Pusakajaya Utara tidak merasa menerima uang yang sebelumnya telah disebutkan oleh pengurus pembersihan limbah itu atas kesepakatan beberapa lembaga.
“Akhirnya, kami kan mulai curiga dengan kurangnya uang uapah yang kami terima dan telah berusaha menyalurkan aspirasi kepada pihak PHE melalui aksi pada hari Rabu (11/9) minggu lalu,” ungkapnya kepada FaktaJabar, Selasa (17/9).
Wartono menambahkan, bahwa ternyata total upah yang diberikan pihak PHE adalah Rp.1.750.000/perahu. Sontak hal tersebut berbeda dengan yang dikatakan pihak pengurus sebelumnya yang hanya sebesar Rp.1.700.000/perahu, dengan total potongan sebesar Rp.250.000 untuk beberapa lembaga Rp.200.000 dan Rp.50.000 sebagai upah pengurus.
Masih Wartono menambahkan, sedangkan ada total 77 perahu dengan kepemilikan satu orang permasing-masing satu perahunya. Biasanya, setiap hari terdapat 9 perahu nelayan yang beroperasi membersihkan limbah perputarannya, dan hingga saat ini telah berjalan hingga tiga putaran. Untuk satu putarannya saja bisa memakan waktu sampai 9 hari lamanya. “Kami mengetahui adanya kekurangan uang upah dari keterangan Pokmas dan keterlambatan pembayaran uang oleh pihak pengurus” paparnya.
Sementara, PT. Pertamina sendiri sudah melakukan pengecekan kelapangan dan memang ditemukan adanya beberapa kejanggalan terkait teknis kegiatan pemungutan limbah minyak dan pembayaran upah. Disamping itu, pihak PHE menginstruksikan kepada nelayan untuk setidaknya terkumpul 70 karung limbah perharinya. Namun kenyataan di lapangan, pihak nelayan mendapat info dari pengurus bahwa harus mengumpulkan hingga lebih dari 100 karung limbah perharinya.
Wartono menduga, jika satu perahunya mengumpulkan 20 sampai 30 karung limbah, maka terdapat sisa dari jumlah karung limbah yang lebih dari 70 karung itu oleh pengurus dijadikan sebagai penambahan armada perahu yang fiktif dan ikut terhitung biaya upah, sehingga muncul dugaan uang tersebut masuk kekantong pribadi oknum pengurus pembersihan limbah.
“Hal tersebut sangat merugikan kami nelayan yang mendapat upah tidak sebanding dengan jumlah limbah yang kami kumpulkan. Saya pribadi tidak pernah menyetujui adanya biaya pemotongan yang dilakukan pengurus dan berharap agar kedepannya sisa uang tersebut bisa secepatnya dikembalikan utuh sesuai dengan jumlah yang diberikan PHE tanpa ada potongan yang merugikan kami,” tandasnya.
Lebih lanjut, Ketua Karang Taruna, Syafrudin juga mengatakan, pihaknya tidak pernah diajak urun rembuk mengenai adanya pemotongan uang upah nelayan oleh pengurus pembersihan limbah, bahkan diantara beberapa lembaga salah satunya dikatakan akan diberikan kepada Karang Taruna. Ia menduga bahwa dalang dibalik kasus ini adalah Oknum di dalam Pengurus Pembersihan Limbah. Pihak Karang Taruna pun telah mendampingi nelayan yang mengambil inisiatif untuk melaporkan kasus ini kepihak berwajib.
“Menurut saya hal tersebut sangat memberatkan nelayan dan kalau bisa sih dikembalikan utuh. Kemudian,untuk pihak PHE agar kedepannya bisa transparan dalam memberikan uang upah, jangan sampai ada nelayan yang tidak tahu,” pungkasnya. (dim/lil)