FAKTAJABAR.CO.ID – Gejolak ekonomi dunia mulai berdampak pada kinerja fiskal pemerintah sepanjang paruh pertama tahun ini. Tekanan pertumbuhan ekonomi dalam negeri membuat penerimaan negara selama semester I 2019 masih jauh dari target.
Menurut data Kementerian Keuangan per Juni 2019, realisasi penerimaan negara yang berasal dari perpajakan mencapai Rp688,94 triliun atau baru memenuhi sekitar 38,6 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 yang sebesar Rp1.577,6 triliun. Per Juni ini, hanya naik 3,75 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Secara keseluruhan, realisasi pendapatan negara sampai dengan Juni 2019 hanya mencapai Rp898,8 triliun, sekitar 41,51 persen dari target APBN. Rinciannya berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp688,94 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 209 triliun.
Hal ini mengakibatkan defisit APBN hingga semester I mencapai Rp135,8 triliun atau setara dengan 0,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit ini akan semakin dalam hingga akhir tahun yakni, mencapai Rp310,8 triliun atau 1,93 persen dari PDB. Angka itu melampaui target APBN sebesar Rp296 triliun atau 1,84 persen PDB.
Sri Mulyani mengungkapkan, perekonomian dunia pada paruh pertama tahun ini mendapat tekanan dari eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat-Tiongkok. Kondisi itu berimbas pada pertumbuhan ekonomi berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Defisit akan sedikit lebih tinggi karena adanya tren pelemahan penerimaan (APBN) karena ekonomi yang mengalami tekanan,” ujar Sri Mulyani, Selasa (16/7/2019).
Dari sisi investasi, konflik dagang juga berdampak pada perlambatan masuknya aliran dana asing ke dalam negeri. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan, meskipun konsumsi rumah tangga masih kuat dan tumbuh tinggi, tekanan suku bunga global yang meningkat membuat investor menahan langkahnya untuk membuat keputusan.
Kinerja penerimaan semakin berat karena pemasukan yang berasal dari realisasi liftingminyak meleset di bawah target, yakni 755.000 barel per hari (bph) dari target 775.000 bph. Harga jual migas pun lebih rendah dari asumsi APBN.
Sementara dari sisi pengeluaran, realisasi belanja negara per Juni tercatat mencapai Rp1.034 triliun, tumbuh 9,6 persen dari periode yang sama tahun lalu. Belanja pemerintah pusat mencapai Rp630,57 triliun dan Transfer Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp403,95 triliun.
Laporan APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) Kemenkeu menjelaskan, selama semester I kenaikan belanja pemerintah pusat, khususnya kementerian dan lembaga didorong adanya kegiatan strategis pemilihan umum (pemilu).
Kenaikan juga disebabkan percepatan pengadaan barang dan jasa untuk belanja operasional seperti oleh KPU, TNI/Polri, serta serapan besar dari beberapa kementerian dan lembaga.
Kondisi ini membuat pemerintah didorong untuk melakukan penghematan anggaran untuk mencegah defisit anggaran lebih jauh. Kepala Ekonom Makro Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro menilai, pemerintah perlu memangkas anggaran belanja pemerintah pusat hingga Rp107, triliun tahun ini. Kebijakan ini dinilai tidak akan mempengaruhi pada anggaran infrastruktur yang sudah dialokasikan secara khusus.
“Pengeluaran pemerintah pusat harus disesuaikan berdasarkan prestasi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan memiliki tingkat realisasi penyerapan anggaran yang memuaskan 46,3 persen dan 53,9 persen, dibandingkan kementerian lain yang masih kurang dari 10 persen,” ujar Satria dalam keterangan pers, Rabu (17/7).
Peneliti Bidang Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyatakan bahwa revisi target pada APBN 2019 masih potensial dilakukan. Utamanya untuk menghemat beberapa alokasi dana.
Apabila dilakukan, pemerintah perlu menyesuaikan dengan perubahan harga minyak. Selain itu, pemerintah juga perlu merevisi alokasi belanja modal lebih besar ketimbang belanja barang.
Dia beralasan belanja barang kerap menjadi belanja barang tidak produktif karena tak memberi dampak ke ekonomi nasional.
“Belanja modal harus tetap karena itu ada multiplier efek terhadap ekonomi,” ujar Abdul. (*)
Sumber: Beritagar.id